Rabu, 31 Desember 2008

puisi Ratnawati

PEMBEBASAN
puisi : Ratnawati

seratus empat tahun yang lalu
saat aku berjihad demi buah hati
tiada lagi daya, Israil menjemputku
mengantarku gapai angan-angan tertinggi pembebasan
ya ! aku telah bebas !
bebas menyampaikan ide kepada Tuhan di sana
bebas memilih jalan pembebasan
bebas mempertanggungjawabkan kebebasan
tapi aku tak tahu kapan kaumku kan bebas pula
kemerdekaan perempuan tak boleh tidak akan datang juga;
pasti akan datang jua, hanyalah tiada dapat dipercepat
datangnya
cukuplah aku jika aku hanya pembuka jalan saja, orang
lainlah nanti yang akan meneruskan
pembebasanku ini
jalan pembebasan kaumku
penuh tanggung jawab
penuh cinta
penuh keyakinan
sabar dan tawaqal
jangan berduka cita! pembebasan telah datang
kami disini meminta, ya memohonkan, meminta dengan
sangatnya supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan
anak-anak perempuan, bukanlah sekali-kali karena
kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu
saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini
melainkan kami, pendidik manusia yang pertama-tama
kami, para perempuan melahirkan generasi-generasi
garda bangsa
penentu arah peradaban nusantara

kaliwadas,sudut kamarku,april 2008

kretifitas nurngudiono


TENTANG NURNGUDIONO

Nurngudiono lahir di sebuah desa pesisir di kota Tegal, Tegal sari, pada tahun 11 November 1961
darah seninya mengalir dari kakeknya yang seorang pengrawit, menjadi seniman sejak usia SD, awalnya ia aktif mendalami tari jawa klasik
sehingga beberapa tarian dikuasainya,seperti Kuda Kepang, jaranan,kidang dan tari Gatotkaca Sraya bahkan menguasai tari modern.


Saat di sekolah pendidikan guru (SPG) negeri Tegal, ia mendalami seni musik dan teater. di desanya dia juga menghimpun para remaja untuk mendirikan kelompok folk song
sementara disekolahnya, ia bergabung dengan Nurhidayat Poso mendirikan
teater ANPES ( Anak Pesisir) pada tahun 1977. lakon yang pernah dimainkan Abrakadabra,Suara-suara Mati,Setan Dalam Bahaya dan Antigone.
Pada tahun 1980 setamat dari SPG,bersama NUrhidayat Poso dan Dwi Ery Santoso mendirikan teater Puber mementasakan lakon
Umang-Umang Atwa Orkes Madun.

Menikah pd tahun 1982, dari pernikahan inilah ia vakum, karena menata bahatera rumah tangga hingga tahu 1987,awal aktifnya kembali langsung diserahi menjadi aranger pada
saat SGST (Studi Group Sastra dan Teater Tegal) mementaskan lakon Tengul karya Arifin C Noer. berlanjut bergabung dengan teater Puber kembali sebagai pemain sekaligus
penata musik dalam lakon Roro Ireng karya Nurhidayat Poso. pada tahun 1989 bersama Lanang Setiawan mendirikan teater swadesi, ia berperan ebagai pemain, aranger dan kadang menyutradari
lakom yang pernah dipentaskan, AIB (Putu Wijaya), Ni Ratu (Lanang Setiawan), Surti gandrung (Lanang Setiawan) dan Lenggaong (Lanang Setiawan), lakon ini sempat dikolaborasikan denga group lawa 4 Sekawan ( Qomar, Dery, Ginanjar dan Eman)
disutradarai oleh Bontot Sukandar di teater arena Pasar Seni Ancol.
tahun 1993 mendirikan teater Muslim Panggung mementaskan lakon Umar bin Khatab, Martoloyo Martopuro dan Billal Bin Rabah.

ia mendirikan musik Ngingsoran pada tahun 1995, dan pada tahun 1997 mendirikan Kelompok Musik Warung Tegal (KMSWT), bersama group inilah Nurngudiono menjadi salah seorang seniman tegal yang direhitungkan di kota Tegal.
selama berdirinya group ini telah pentas 109 kali diberbagai kota, bahkan menjadi obyek penelitian beberapa perguruan tinggi di Austrlia dan Canada.

tahun 2004 mendirikan group musik Islami Ad Dawam, bersama KMSWT sempat melahirkan 2 album lagu-lagu Tegalan, Kembang Geni dan Babon Ngoyok-Ngoyok Jago. bahkan lagu Tsunami dan Tukang-Tukang mendapat pujian dari Anton Lucas
dan Prof. Richard Curtis dan menjadi kajian mahasiswa di Nort Teritory University Darwin Australia.

aktif menulis, puisinya tergabung dalam antologi puisi penyair jawa tengah JENTERA PERKASA, semtara dalam bahasa Tegal tergabung dalam ROA, karya-karyanya muncul di Suara Merdeka, Mitra Dialog, Swadesi dll.
nampaknya bukan bidang itu saja, tetapi dunia sinemapun dilakukan : Jejak Sang Guru sutradara Imam Tantowi,Tukang-Tukang sutradara Andi Prasetyo, Rumah tak Berpintu Sutradara Yono Daryono dan Kembang Warung Tegal Sutradara H.Abnar Romli
tahun 2006 - 2009 menjadi Ketua Dewan Kesenian kota Tegal, juga menjadi komite musik Dewan Kesenian Jawa Tengah. (bontot)

Selasa, 30 Desember 2008

MUSIK KLASIK SEBAGAI HUMAN HERITAGE - Michael Gunadi Widjaja

Sebelumnya,perlu saya berikan catatan pendefinisian istilah dalam tulisan ini.

* Yang dimaksud musik klasik dalam tulisan ini adalah :

a. Karya musik dalam kurun periode 1750-1820.Periode ini sebagai kelanjutan dari periode BAROQUE pada periodisasi penciptaan seni.Termasuk dalam periode ini adalah simfoni-simfoni akbar gubahan Johann Sebastian Bach,Wolfgang Amadeus Mozart,Tchaikovsky dan banyak lagi

b. Klasik dalam artian sebagai STILO atau gaya bermusik.Dalam skopa ini,materi musiknya bisa saja lagu dari kelompok SLANK,hanya tata harmoni,pendekatan musikal dan tata gramatika musiknya dibuat sesuai mazab WIENER dan MANNHEIMERMazab ini adalah dua aliran utama dalam musik klasik (pembaca tak perlu pusing,cukup percaya saya dan ikuti saja alur tulisan ini)

· Yang dimaksud dengan HUMAN HERITAGE adalah harta kekayaan umat manusia.Yang luhur,menembus setiap batas ras,kepercayaan atau apapun.Tujuan akhirnya adalah agar manusi menjadi termuliakan.Tentu dalam artian sebagai mahluk ciptaan Khaliqnya.

Kita akan beranjak dari sebuah fenomena.Orang sering bergidig ketika mendengan ada acara pentas musik klasik.Orang juga sering mencibir jika diundang pada acara konser musik klasik.Ungkapan yang sering terjadi kira-kira : LAH...EMOH LAH.DIH..KLASIK YA.ORA NGARTI.NGANTUKI.JAMAN WIS MAJU KA TEGSIH NGAK NGIK NGOK BAE..KAYA LANDA KUNA.Jelas saya akan mengatakan bahwa ungkapan semacam itu adalah jujur,apa adanya (bukan ada apanya),spontan,dan malah ungkapan semacam itu adalah, sebetulnya, bukti bahwa masih ada respon terhadap musik klasikYang menjadi akar persoalannya adalah,bukankah kita juga akan mendapati ungkapan yang senada pada pagelaran gendhing klasik,pagelaran,musik KODO dari Jepang,konser Oud dari Syria.Kalaupun ada orang yang tekun dan ‘mentheleng” pada pementasan materi musik tersebut,saya juga TIDAK YAKIN jika yang bersangkutan mengerti dan menikmati sajiannya.Lebih dikarenakan status seniman dan atau gengsi saja.Hehehe.Semua berakar pada satu kata kunci.KEBIASAAN!!!!

Lho..lha lho lha lho..jadi untuk mengerti dan menikmati musik klasik,kita harus terbiasa????YA!Aduh..lha kan butuh proses...YA!Lha kan....auw....emangnya apa sih bagus nya musik klasik sampai misalnya kita layak (tentu tidak harus) untuk membiasakan mendengarnya??????

Dalam musik klasik ada keteraturan.Semua tata harmoni,tata gramatika,idiom musik semua memiliki keteraturan dalam musik klasik.Keteraturan ini adalah cerminan keteraturan alam semesta ciptaan Tuhan.Menghayati musik klasik berarti menghayati keteraturan dan presisi yang tinggi.Bukankah Tuhan juga menciptakan alam dengan keteraturan?Bahkan bencana pun adalah lingkar keteraturan.Dan bukankah faal dan anatomi tubuh manusia adalah diciptakan Tuhan dengan presisi yang amat sempurna.

Musik klasik adalah karya seni yang dirancang dengan tatanan yang sangat baik.Terstruktur,aliran napas musikalnya pun diperhitungkan dengan amat teliti,juga teknik bermain yang menuntut pengolahan karsa sampai tatas nembus bawono untuk menghadirkan Taksu dalam performanya.Jadi,inilah kulminasi karya umat manusia dalam olah bunyi.Bukan suara lho.Bunyi.Menikmati musik klasik adalah penyadaran dan penghayatan terhadap upaya manusia mengolah bunyi sebagai anugrahNya.Fenomena ini bisa dijadikan pijakan dalam mengedepankan sikap peduli yang sungguh humanis.Dan,hal ini bukan ngemut jempol.Ketegangan Amerika dan Korea Utara langsung mencair setelah NEW YORK PHILHARMONIC mementaskan musik klasik di PyongYang,yang sebelumnya dengan diplomasi klas dunia,ketegangan ini tak kunjung reda.

Paparan sederhana tadi setidaknya menjadi acuan bahwa musik klasik memang layak untuk dibiasakan.Dan di Tegal sebetulnya banyak bermunculan pemusik klasik yang sangat baik,bahkan dalam skala nasional,dan malah internasional.Tegal mengenal almarhumah MARTHA SURYANI TANJUNG atau akrab dikenal bu Wiyanto.Beliau sejak tahun 1974 sampai lima belas tahun menggelar secara rutin konser piano klasik dari siswa-siswinya.Tegal juga memiliki almarhum PIET MUNANDAR,penggubah (saya tidak suka memakai istilah PENCIPTA) lagu Kroncong FANTASI yang merupakan lagu wajib pada banyak festival kroncong tanah air,beliau adalah pemusik klasik yang amat baik.Bahkan pernah bermain flute pada pagelaran POUTPOURY JAYAWIJAYA dengan dirigen Jos Cleber,dihadapan Presiden Soekarno.Walah walah walah...lha kok wis pada mati...eit...aja grusa grusu...pemusik klasik di Tegal yang masih ngganteng,seger buger juga masih ada!!!Kursus musik klasik di Tegal masih subur.Dan acara memperdengarkan musik klasik juga malah sedang subur-suburnya.Dalam siaran radio tentang musik klasik yang saya bawakan,agak mengejutkan mengingat banyaknya telpon,sms dari pendengar di Tegal,yang bukan cuma nampang salam,tetapi juga mengajukan request,dan kritik,yang semuanya memperlihatkan adanya dasar pemahaman akan musik klasik.Agaknya,membiasakan diri dengan musik klasik,di Tegal,faktor pemacunya hanyalah niat semata

Musik klasik adalah human heritage.Dengan demikian,sudah waktunya KOMUNITAS SORLEM menggelar CLASSIC UNDER PELEM ‘S TREE.Dan sungguh saya bersungguh-sungguh


Michael Gunadi Widjaja

Kamis, 25 Desember 2008

Malam menghitung langkah - Puisi Bontot Sukandar



Malam menghitung langkah


Sepertinya malam menghitung beribu langkahmu
Terantuk batu
Bagai anak kecil memanggil masa lalu
Munculkan kenangan mendengarkan lagu man Draup
Bukan langkah tapi genjotan pedal
Mengitari kota Tegal bagai batu berlumur
Pada asin biru air laut

Sepertinya malam menghitung beribu langkahmu
Menikmati diam benteng pasar pagi
Menimpan misteri Gendowor
Menyimpan kehangatan Martoloyo Martopuro
Pada langit beribu poci
Mengisi halaman tiangtiang jiwa
Pada panas pantai Muara Reja

Sepertinya malam menghitung beribu langkahmu
Memandangmu kulihat kamu tertawa
Pada gemulung ombak pagi merah
Membasuh pada batu karang penjalan
Pada alun-alun tanpa beringin jadi pemancingan
Saat hujan mencerca asongan
Pada mimpi bocah tentang matahari yang tersapu banjir

Sepertinya malam menghitung beribu langkahmu
Justru saat kau duduk menghadap laut
Menghitung gemuruh hidup mengantar bintang luruh
Menggiring si mungil nyanyikan sajak
Pada lampu pijar kota sarat pajak

Sepertinya malam menghitung beribu langkahmu
Jangan bilang tak ada poci
Jangan bilang tak ada tahu aci
Jangan bilang tak ada enci-enci

Jangan bilang
Jangan bilang

Sepertinya malam menghitung beribu langkahmu

Tegal, mejabung 08


Kepada sang

Berselimut syair
Berbahasa nabi
Kaki mengangkang langit dan bumi
Jumawa pada terik matahari
Bersendawa pada purnama bulan
Tertusuk aroma anggur merah gincu
Menari pada bentang saputangan dan dasi
Merajut nikmat
Merangkai bahagia
Dari serat-serat nestapa tanah
Bernyanyi…………………
Lahap menggerus beribu nestapa

Tegal, mejabung 08

baca puisi 2 kota




Sastra Dua Kota di TBRS Semarang
Rabu, 26 November 2008
Foto: Zainal Arifin

BAGAIMANA jadinya bila penyair-pemyair dari dua kota yang berbeda dipertemukan dalam sebuah panggung pementasan? Bagaimana pula cara dua gaya berpuisi yang berbeda tersebut, harus berdialog dalam sebuah panggung pementasan? Apakah keduanya mampu berkolaborasi, ataukah keduanya justru pecah serta berdiri sendiri? Ya, peristiwa unik inilah yang terlihat di Gedung Serbaguna Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Senin (24/11) lalu, ketika para penyair dari Kota Semarang bermain bersama dengan penyair dari Kota Tegal.
Penyair dari dua pilar daerah seni Jawa Tengah (selain Surakarta tentunya) tersebut, beraksi dalam acara bertajuk Panggung Sastra Dua Kota yang digagas oleh Dewan Kesenia Semarang.
Apakah keduanya berhasil berkolaborasi, ataukah justru mengatur jarak serta menunjukkan kekuatan bersyair masing-masing? Jawabnya, ada di antara kedua pilihan tersebut. Terkadang, sekali dua kali mereka mampu kolaborasi secara apik. Tetapi tidak sekali dua kali pula, naluri kedaerahan mereka bermunculan sehingga terkesan bermain sendiri-sendiri.
Kendati demikian, tidak sedikit penyair dan seniman dari dua kota yang bermunculan dalam pementasan ini. Dari Kota Semarang misalnya, muncul Timur Sinar Suprabana, S Kamto, Handry TM, Beno Siang Pamungkas, Triyanto Triwikromo dan banyak lainnya. Sedang dari Kota Tegal muncul Nurhidayat Poso, Bontot Sukandar, Nur Ngudiono Bramanti, Hartono Ch Surya, dan banyak lainnya.
Ciri KhasYang menarik, ciri khas kepenyairan masing-masing kota terlihat sangat kental. Dari Kota Tegal misalnya, teknik berpuisi mereka banyak diwarnai dengan iringan musik perkusi. Di sela-sela pembacaan puisi, mereka tak sekali dua kali membawakan puisinya dengan irama lagu yang ditabuhi irama perkusi.
Lain lagi dengan penyair Kota Semarang. Sikap yang ditunjukkan cukup simpel, tak perlu mengandalkan irama musik, tetapi mengandalkan kekuatan karakter masing-masing. Timur muncul dengan gayanya berpuisinya yang merdu. S Kamto muncul dengan gayanya yang lantang. Sedang, Beno muncul dengan gaya berpuisi penuh perlawanan. (Zainal Arifin ZA)

(diambil dari Wawasan 26 november 08)

demo lukis Ari jembrong

Seni LukisPesan Seniman untuk Pilkada yang DamaiSabtu, 8 Maret 2008 11:44 WIB

Semburan cat dari mulut Ari Jembrong, pelukis asal Tegal, memenuhi kanvas putih yang tergantung di atas pintu air Kalimati, Jalan Serayu, Kota Tegal, Rabu (5/3). Tangannya bergerak cepat meratakan semburan cat tersebut hingga membentuk sebuah lukisan.
Ari bersama dengan Komunitas Sorlem atau Ngisor Pelem, menggelar demo lukis bertema "Ambeng Kota Tegal". Kegiatan itu merupakan pesan moral seniman dalam menghadapi Pilkada Jawa Tengah maupun Pilkada Kota Tegal tahun 2008 ini.
Ketua Komunitas Sorlem Bontot Sukandar mengatakan, kegiatan itu bermula dari aktivitas para seniman dan pencinta seni yang biasa berkumpul di lesehan bawah pohon mangga di Jalan Serayu, Kota Tegal.
Mereka prihatin dengan pelaksanaan pilkada di daerah lain. Pilkada kerap bertabur konflik antara peserta atau pendukungnya.
Komunitas Sorlem berharap hal itu tidak terjadi di Kota Tegal. Apalagi selain hajat pilkada Jateng, Kota Tegal juga memiliki agenda pilkada Kota Tegal akhir tahun ini. Oleh karena itu, mereka tergugah untuk menyampaikan pesan moral kepada masyarakat agar ikut menjaga pilkada damai.
Menurut dia, demo lukis sengaja berlangsung di tempat terbuka agar banyak orang dapat menikmati. Selain itu, untuk menunjukkan kepada masyarakat seni lukis bukanlah sesuatu yang eksklusif. Kreativitas seni dapat disalurkan di mana saja.
Ari menuturkan, demo lukis kali ini menampilkan lukisan Kota Tegal dengan ambeng atau tumpeng. Tumpeng adalah simbol Kota Tegal digambarkan dengan benteng Pasar Pagi yang merupakan pusat pasar tradisional di sana.
Gambar tumpeng kuning di tengah dan gambar tangan berwarna merah. Tumpeng merupakan simbol keselamatan, sedangkan tangan merupakan simbol para peserta pilkada. Diharapkan, para peserta pilkada dan seluruh pendukungnya dapat menjaga pilkada berlangsung aman dan damai.
Selain lukisan tumpeng, Ari juga menampilkan lukisan tubuh dengan model Junaedi. Lukisan tubuh tersebut menggambarkan kekerasan yang sering terjadi dalam proses pilkada. Simbol kekerasan ditunjukkan dengan warna merah yang membelah kepala. (WIE)
(diambil dari kompas 16 Agustus 07)

pentas semarang

Sastra Dua Kota di TBRS Semarang Rabu, 26 November 2008 Sastra Dua Kota di TBRS SemarangDialog penyair lewat karya puisi

Foto: Zainal Arifin ZABAGAIMANA jadinya bila penyair-pemyair dari dua kota yang berbeda dipertemukan dalam sebuah panggung pementasan? Bagaimana pula cara dua gaya berpuisi yang berbeda tersebut, harus berdialog dalam sebuah panggung pementasan? Apakah keduanya mampu berkolaborasi, ataukah keduanya justru pecah serta berdiri sendiri? Ya, peristiwa unik inilah yang terlihat di Gedung Serbaguna Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Senin (24/11) lalu, ketika para penyair dari Kota Semarang bermain bersama dengan penyair dari Kota Tegal.
Penyair dari dua pilar daerah seni Jawa Tengah (selain Surakarta tentunya) tersebut, beraksi dalam acara bertajuk Panggung Sastra Dua Kota yang digagas oleh Dewan Kesenia Semarang.
Apakah keduanya berhasil berkolaborasi, ataukah justru mengatur jarak serta menunjukkan kekuatan bersyair masing-masing? Jawabnya, ada di antara kedua pilihan tersebut. Terkadang, sekali dua kali mereka mampu kolaborasi secara apik. Tetapi tidak sekali dua kali pula, naluri kedaerahan mereka bermunculan sehingga terkesan bermain sendiri-sendiri.
Kendati demikian, tidak sedikit penyair dan seniman dari dua kota yang bermunculan dalam pementasan ini. Dari Kota Semarang misalnya, muncul Timur Sinar Suprabana, S Kamto, Handry TM, Beno Siang Pamungkas, Triyanto Triwikromo dan banyak lainnya. Sedang dari Kota Tegal muncul Nurhidayat Poso, Bontot Sukandar, Nur Ngudiono Bramanti, Hartono Ch Surya, dan banyak lainnya.
Ciri KhasYang menarik, ciri khas kepenyairan masing-masing kota terlihat sangat kental. Dari Kota Tegal misalnya, teknik berpuisi mereka banyak diwarnai dengan iringan musik perkusi. Di sela-sela pembacaan puisi, mereka tak sekali dua kali membawakan puisinya dengan irama lagu yang ditabuhi irama perkusi.
Lain lagi dengan penyair Kota Semarang. Sikap yang ditunjukkan cukup simpel, tak perlu mengandalkan irama musik, tetapi mengandalkan kekuatan karakter masing-masing. Timur muncul dengan gayanya berpuisinya yang merdu. S Kamto muncul dengan gayanya yang lantang. Sedang, Beno muncul dengan gaya berpuisi penuh perlawanan.( Zainal Arifin ZA )

(diambil dar koran sore Wawasan 26 November 08)

puisi bontot



dan wajah itupun lahir
bagi :deta

kucercap kembali ingatan lama bungaku
berharap lumut waktu hidupkan
kisah cinta lama melempar gelisah
tercampak puisi sunyi tertulis ritmis
sungguh rinduku bagai uap pengantin
pada mata purba
pada hidung purba
pada bibir purba
wajah yang menempel membekas
menelusur gelombang rindu
sembilan sembilan poin tiga radio rindu
bangkitkan wajah puisirindu sunyiku
bagai penyihir nyanyikan mantra
menjaga wajah pada kepastian ombak
agar kau membatu pada kisikisi rinduku


tegal, mejabung 08




disha

biarkan hatimu berbasah hujan
pelangiMu menggiringku padamu
jangan sirnakan suammu dari tubuhku
tetes demi tetes suciMu kuharap
agar dirimu tak lelah merangkul malamku
hijau lotusku masih terjaga
sedang anganku terbang entah
bagai musyafir maj nun
tak terjaga malam yang sintruh
ada harap kunMu suakan padaku
karena angan hanyalah miliku
jangan biarkan menangis
lantaran sengat matahari
siangku mendekap malammu
sentuhkan bunga hatimu
beribu tangan menggapai
lotusku melambung
mimpiku merengkuh sunyi
kemana kudekap sepiku


sorlem,08

Rabu, 24 Desember 2008

dan akhirnya wajah itupun lahir
bagi : deta

mencercap kembali ingatan lama bungaku
berharap lumut waktu hidupkan
kisah cinta lama melempar gelisah
tercampak puisi sunyi tertulis ritmis
sungguh rinduku bagai uap pengantin
pada mata purba
pada hidung purba
pada bibir purba
wajah yang menempel membekas
menelusur gelombang rindu
sembilan sembilan poin tiga radio rindu
bangkitkan wajah puisi rindu sunyiku
bagai penyihir nyanyikan mantra
menjaga wajah pada kepastian ombak
agar kau membatu pada kisi-kisi rinduku

tegal,mejabung 08

Selasa, 09 Desember 2008

PENGHARGAAN SENI di TEGAL


PENGHARGAAN SENI di TEGAL

(Lanang Dpat Penghargaan)


Ki dalang Sarjono sebagai Penggiat Seni Pedalangan, Sulaiman Dito sebagai Penggiat Seni Lukis, Lanang Setiawan sebagai Penggiat Seni Tegalan, Yono Daryono dan SN Ratmana mendapat Pakarti Seni dan Piek Ardijanto(alm) mendapat Bintang Putra Seni.


ALHAMDULILLAH besok aku ke Taman Mini. Mau diberi penghargaan seni oleh Pemkot Tegal. Begitu tulis Redaktur Budaya Nirmala Post, Lanang Setiawan melalui SMS pada Sabtu (18/10) pagi sebelum ia berangkat ke Jakarta bersama rombongan duta seni Kota Tegal. Dikatakan Kepala Dishubparsenbud, Sumityo Sip, dari sembilan nominator hanya enam seniman yang mendapat undangan untuk berangkat ke Taman Mini."Enam seniman itulah yang memperoleh penghargaan itu," jelas Sumito, Jumat (17/10) melalui telpon. Kemudian via SMS, Minggu (19/10) siang Lanang menjelaskan, ada enam seniman untuk lima jenis penghargaan. Yaitu Ki Sarjono sebagai Penggiat Seni Pedalangan, Sulaiman Dito sebagai Penggiat Seni Lukis, Lanang Setiawan sebagai Penggiat Seni Tegalan, Yono Daryono dan SN Ratmana mendapat Pakarti Seni dan Piek Ardijanto (alm) mendapat Bintang Putra Seni."Sulaiman Dito tidak hadir, penerimaan penghargaan diwakili oleh Ketua Dewan Kesenian Tegal, Ki Barep. Sedangkan penghargaan kepada Pak Piek (alm) diwakili menantunya, M Iqbal," jelas Lanang. Menurutnya, penghargaan seni diserahkan Walikota Tegal, Adi Wanarso dalam rangkaian Pagelaran Seni Budaya dan Pameran Produk Unggulan serta Halal Bihalal Pemda Kota Tegal dengan Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT) Bahari Ayu Jakarta, Minggu (19/10) di anjungan Jawa Tengah TMII. Penghargaan itu tidak lepas dari perhelatannya di dunia kesenian khususnya seni Tegalan. Jika ditilik dari koleksi karyanya, Lanang memiliki ragam karya, baik sastra maupun suara. Seperti Kumpulan puisi Tegalan berjudul 'Nggayuh', novel bahasa Tegalan berjudul 'Oreg Tegal', kini novel itu menjadi cerbung di tabloid Suaka Brebes, naskah sandiwara radio berbahasa Tegal berjudul 'Tegal Bledugan'. Kecuali itu Lanang juga menulis naskah drama yang sudah dibukukan di antaranya berjudul 'Lenggaong', 'Ken Angrok Gugat', 'Surti Gandrung' dan 'Ni Ratu'. Sementara album lagu Tegalan direkam atas biaya sendiri (indilabel) berjudul 'Lagi Kedanan' (2002), 'Rika Tega Enyong Tega' (2002), 'Tragedi Jatilawang' (2004) dan dua lagu Tegalan yakni 'Apus Asmara' dan 'Manuk Blekok' masuk dalam album remix Anyar Tegalan produksi Doble R, Jakarta (2000). Teranyar satu lagu berjudul 'Gendul Oclak- Aclik' direlease dalam album Pantura Tegalan 4 (2008) produksi Ariwani record. Ia juga pernah mendirikan Teater Swadesi, tabloid Kontak, Porem, Literasi, Muara Sastra, Jurnal Tegal Tegal dan tabloid Tegal Tegal. Menurutnya, itu merupakan tabloid pertama di Tegal tahun 1998. Karya lainnya, berupa penerjemahan sajak WS Rendra berjudul 'Nyanyian Angsa' ke dalam bahasa Tegalan menjadi 'Tembangan Banyak'. Puisi panjang itu pernah dibaca Bupati Tegal Agus Riyanto dalam acara Jed-jedan maca Puisi Tegalan bersama Adi Winarso, Ketua DPRD Tegal Ghoutsun dan para seniman Tegal. Kemudian dibacakan kembali oleh Agus Riyanto di warung Apresiasi Bulungan Jakarta. Lanang juga menulis buku 'Jalan Panjang Teater' dan 'Sastra Tegal', 'Tegal Dugal' (Catatan Reformasi di Tegal), novelette 'Sibeng', serta pernah mendapat gelar Man of The Year 2004 untuk seniman Tegal. Kini ia sedang mengerjakan memoar tentang perjalanan berkeseniannya berjudul 'Lanang Pengendara Badai'. "Dalam artian badai kreatif yang ditulis sebanyak 500 halaman," kata pemilik prinsip hidup sing penting bergerak, beberapa waktu lalu. Selain itu, sebagai penulis tetap Anehdot Tegalan di Harian Nirmala Post sejak tahun 2008 hingga sekarang (KZ)

FOTO : Lanang Setiawan

Jumat, 05 Desember 2008

SAJAK TEGALAN MASUDI Ach JEPARAN


Mas’udi Ach Jeparan

PAI

Pai, pantai alam indah
tempat rèkrèasi sing paling syuur
murid-murid wadon nakal nyebut Pai
pendidikan ajama islam

Adong pan ngajak mojok kanca-kanca Lanang
poyan wong tua alesané lès Pai
wong tua, guru ora ngarti yèn
murid-muridé rusak
wis apal maplak jaran-jaranan

Alhamdulillah saiki tahun 2008
Pai wis apik tertib lan aman
ana musik
ana alam bahari
ora ketinggalan uga
ana museum bahari

Wong tua wis ora miris maning
ndeleng grombolan bocah ramé sliweran
ésemé grapyaj
ngguyuné renyah
awaké trengginas
nalaré waras
nikmati indahé alam bahari
karo blajar neng museum bahari

Dikipasi nikmaté angin
lan ombak segara
ngilangna mumet ndina-wengi

Wouw ajib por-poran


tegal, 5 desember 2008


Foto : Mas'udi Ach Jeparan



JEDEDAN MACA PUISI TEGALAN JILID DUA


Hari Sastra Tegalan
Jed-jedan Maca Puisi Tegalan
Jilid Dua

PERAYAAN
Hari Sastra Tegalan (PHST) yang diusung Komunitas Sorlem di Semarang dan Surakarta (24-25/11) lalu direncakan akan digelar juga di Tegal pada Minggu (14/12) malam mendatang di Rumah Dinas Wakil Walikota Tegal. Hal itu dikatakan Ketua Penyelenggara PHST, Nurngudiono, Jumat (05/12).
“Penyelenggaraan Hari Sastra Tegal jilid dua ini didasarkan atas banyaknya telpon dan SMS masuk ke handphone saya, setelah dirembuk akhirnya kami sepakat untuk menggelarnya lagi,” ujar Nurungudiono yang diiyakan Dwi Ery Santoso.
Tujuan dari pergelaran seni ini, sebagai suatu langkah penegasan bahwa Hari Sastra Tegalan yang bertepatan pada tanggal 26 Nopember itu perlu dirayakan, mengingat Sastra Tegalan dewasa ini semakin menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan linguistik dan komunikasi antar lapisan masyarakat Tegal.
“Kehadiran Sastra Tegalan sudah tak bisa lagi dianggap remeh temeh. Keberadaan Sastra Tegalan telah menggoda, menerjang dan mendobrak sekat-sekat keangkuhan pemakai bahasa wetanan yang --pada tatanan tertentu-- dianggap paling adhiluhung. Padahal yang namanya bahasa itu tak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kedudukan bahasa itu sama fungsinya,” papar salah satu pemerhati budaya lokal Mas’udi Ach Jeparan.
Nurngudiono menambahkan, pegelaran PHST menjadi sebuah tonggak kebesaran bahasa lokal Tegal yang tak bisa diabaikan. Sastra Tegalan perlu hadir di tengah masyarakat Tegal agar mereka makin mencintai bahasa ‘ibu’-nya sendiri.
“I'tikad baik kami untuk menyelenggarakan kegiatan ini agar masyarakat Tegal lebih mengenal jati dirinya sebagai wong Tegal,” katanya.
Tiga anggota DPRD Kota Tegal yang sudah siap membaca puisi Tegalan diantaranya Tatang Suandi, Supardi dan Emma Karimah. Dari para seniman yang siap tampil baca puisi Tegalan yakni Diah Setyawati, Hamidah Abdurachman, Hartono Ch Surya, Tambari Gustam, Dwi Ery Santoso, Bontot Sukandar, Nurhidayat Poso, dan Nurngudiono lengkap dengan KMSWT-nya. Sementara untuk penampil monolog Waslam karya Moch Hadi Utomo dibawakan Bramanthi S Riyadi. Ada juga Hj Rosalina Ikmal yang bakal membacakan puisi tegalan karyanya bersama penampilan Walikota Kota Tegal Adi Winarso dan Wakil Walikota Maufur.
Diharapkan, acara ini kelak menjadi pegelaran seni spektakuler serupa acara Jèd-jèdan Maca Puisi Tegalan antara para seniman, pejabat, walikota/bupati Tegal, dan anggota DPRD Kota Tegal pada tanggal 31 Mei 2006 silam.

KETERANGAN GAMBAR : - Lukisan bulpoin 'Perayaan Hari Sastra Tegalan' 26 Nopember karya Lanang Setiawan.

Kamis, 04 Desember 2008

MUSDA DEWAN KESENIAN TEGAL


Musda DKT Mencuat 12 Nama

DEWAN Kesenian Kota Tegal (DKT) dalam waktu dekat akan menyelenggarakan Musyawarah Daerah (Musda). Agenda pokok dibahas mengenai penyempurnaan AD/ART dalam memperkuat posisi manajemen organisasi DKT untuk menyesuaikan agenda Pemerintah Kota Tegal.
“Penyempurnaan AD/ART dibahas oleh rapat pleno pengurus DKT bersama tim perumus. Juga perlunya penyusunan mekanisme kerja komite-komite serta meninjau ulang susunan pengurus harian, terutama memosisikan Litbang sebagai pengurus harian,” jelas Barep.
Dalam Musda juga akan memperjuangkan anggaran kesenian 0,5% dari APBD. Dikatakannya, Anggaran kesenian di Jakarta sudah mencapai 0,8%. Maka di Tegal anggaran kesenian sudah semestinya ditingkatkan juga.
“Pola penganggarannya adalah hibah yang diterimakan pada awal tahun anggaran, sesuai Permendagri No. 13 th 2006, antara lain mengatur anggaran berbasis kinerja,” paparnya.
Selain itu, akan mewacanakan beberapa orang calon-calon ketua DKT di antaranya; Maufur, Dwi Ery Santoso, Tambari Gustam, Yono Daryono, M Enthieh Mudakir, Lutfi AN, Nurngudiono, Hamidah Abdurachman, Abdullah Sungkar, Nurhidayat Poso, Wowo Legowo dan Ki Barep.
“Nama yang diusulkan itu adalah orang yang memiliki kompetensi manajemen dan memenuhi syarat sesuai AD/ART,” ujar Barep.
Sementara itu, menurut M Enthieh Mudakir siapapun yang merasa mampu mengelola DKT bisa mengusulkan diri sebagai ketua. “Sifatnya terbuka dan demokratis,” cetusnya.
Agenda lain yang akan dibahas lagi, mengenai penganugerahan penghargaan seniman berprestasi secara perodik.


KETERANGAN GAMBAR : Para seniman Tegal foto bareng Ki Slamet Gundono di Sanggar Wayang Suket, Solo, sebelum merayakan Lawatan Maca Puisi dan Monolog Tegalan dalam rangka Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada tanggal 26 Nopember. Acara tersebut di rayakan di dua kota yakni Semarang (23/11) dan Surakarta (24/11).

Rabu, 03 Desember 2008

SAJAK TEGALAN TAMBARI GUSTAM


Tambari Gustam

Pancèn hèbat wong Tegal

Wong Tegal kuwé pancèn hèbat
hèbat pancèn wong Tegal kuwé
bisa utak-atik apa baé
apa baé bisa diutak-atik

Gemiyèn kapal mabur ngebrok
diutak-atik dadi trèmos
hèbaté maning pit mustang kaya Jepang
jebulé gawèané Mustang Talang

Pancèn hèbat wong Tegal
wong Tegal pancèn hèbat
luwih hèbat ana dina sing didadèkna
Dina Sastra Tegalan

Jebulé dina mau diperingati karo
mringati dina lairé penyair tegalan
Lanang pancèn pinteran
pinteran Lanang gawé gara-gara

Gara-gara Lanang akèh pejabat
maca puisi tegalan
dudu puisi Brebesan atawa puisi Jakartanan

Apa ana puisi Slawinan?

Ah dasar Lanang wong Tegal sing olih
perhargaan seniman award
senengé gawé gara-gara

Pancèn hèbat wong Tegal


KETERANGAN GAMBAR : Tambari Gustam memberikan menyerahkan koran 'MUARA POST' kepada pemecah Rekor Baca Puisi Termala 4 Hari 4 Malam, Husin





Selasa, 02 Desember 2008

DRAMA TEGALAN OREG NANG BOEWN


Oreg nang Boèwèn
Karya: Lanang Setiawan


PELAKON
Bekel Subur :...............................
Jayeng Laga :...............................
Kaptèn Vantje van Dèck :...........
Kopral Conrad : ...........................
Kopral Parirèa :............................


UMAHÉ Jayèng Laga disulap dadi markas pasukané Kaptèn Vantje van Dèck. Nang plataran ngarep, ana menara duwur dilengkapi soklè. Gunané nggo ngawasi, utamané maring musuh. Nang kono dijaga serdadu jumlahé loro nyangklong senjata. Mbang wètan markas, ana jaran pitu lagi dicangcang. Jaran-jaran kuwé, barang rampasan saka penduduk Dèsa Rancawiru, Kecamatan Pangkah.
Sepuluh serdadu Landa campur wong-wong Jawa jejagongan nang tritisan. Sèrsan Flour, Kopral Parirèa, Kopral Conrad lan Kopral Nur Juwèr nang ruwangan ngarep pada ngobrol, krungu lamat-lamat Kaptèn Vantje van Dèck nakoni Bekel Subur nang ruwangan tengah. Uga ana Jayèng Laga sing lagi mandeng ngina maring Bekel Subur. Kondisiné Subur lagi dibanda.
“Bekel Subur! Kowé orang akan saya bebaskan, kalau kowé orang mau menunjukkan ke mana tentara-tentara republik bersembunyi. Kami sangat dibikin repot oleh kowé orang-orang, sehingga penyerangan ke Jogja sampai tertunda karena ekstrimis-ektrimis Tegal membakar seluruh kota, juga merobohkan jembatan. Én kowé orang musti kasih tahu ke mana mereka. Jawab, Bekel Subur!!”
“Saya tidak tahu, Meneer...” semauré Bekel Subur.
“Kasih tahu, maka kowé orang saya bebaskan!”
Bèbas? Wah, bener-bener ora tinemu akal. Bangsa Landa sing kesohor liciké, blèh bakalan mbebasna para tahanan. Bekel Subuh paham nemen akal bulusé Landa. Akèh contoné, sing arané Landa kuwé pancèn licik. Gorohé ngletek. Contoné kaya waktu pahlawan Diponegoro, Landa apèn-apèn bala lan moniné pan brunding. Nyatané? Wuih! Pangeran Diponegoro kur diapus janji, ditangkep lan akhiré dibuwang. Sing kaya kuwé, nganti saprèné dadi penngèling-élingé Bekel Subur. Dadi Bekel Subur pan ditawani bèbas? Dobol ka, bèbas-bèbas entut burut? Bèbas waduk dilembag?
“Saya tidak tahu, Meneer” omongé Bekel Subur.
“Jangan bodoh. Kowé orang Tegal, pasti tahu!” sentak Kaptèn Vantje van Dèck.
“Tidak semua orang Tegal tahu, Meneer! Dan tidak semua orang Tegal mau mengabdi kepada bangsa Meneer seperti pengkhianat Jayèng Laga, rela membunuh bangsanya sendiri....”
Ngrasa disudutna, Jayèng Laga gemremet, tangané nggegem ngancam. Bekel Subur mesem culag, nyawang Jayèng Laga.
“Bedebah! Saya tidak peduli keterangan itu, Bekel Subur?! Yang penting kowé orang kasih tahu di mana tempat persembunyian orang-orang republik!”
“Rakyat Tegal dan para pejuang, tidak akan membiarkan mereka ditangkap. Mereka pasti akan mengobarkan perlawanan sampai titik darah penghabisan” semauré Bekel Subur nandes, ngemu nada ngècé.
“Jangan bodoh. Mereka adalah pemberontak yang menyebabkan divisi kami ke Jogja tertunda, tahu ?!”
Matané Kaptèn Vantje van Dèck mentelengi Bekel Subur. Rainé angas.
“Meneer, Jogja adalah bagian dari republik ini. Para pejuang pasti tidak akan tinggal diam kalau ada daerah manapun yang diusik bangsa asing” omongé Bekel Subur ora kalah sengité mandeng Kaptèn Vantje van Dèck.
“Gotverdomme zegh! Saya tidak mau tahu itu, Subur!!”
Dugalé Kaptèn Vantje van Dèck tambah sagulu. Kalah juweté, batuké Bekel Subur dikepruk nganggo gagang pèstol. Mbak crot! Getih abang branang muncrat saka batuké Bekel Subur. Pengpengan endasé dikepruk. Mung baé dèwèké apèn-apèn mènjep, nahan lara.
“Dia pasti tahu ke mana pemimpin-pemimpin perjuang bersembunyi, Tuan Kaptèn” ujug-ujug Jayèng Laga nyrandu.
Krungu omongan kaya kuwè, Bekel Subur culag saporèté maring Jayèng Laga.
“Biadab! Kowen aja sambat kaniaya Jayèng. Entèni baé walesané kanca batir!”
“Ora susah kakèhen cocot, Subur! Rasakna walesané enyong saiki!” omongé Jayèng Laga kambèn gemuyu ngècé.
Kaptèn Vantje van Dèck, blèh ngarti apa sing diomongna wong loro. Dèwèké ora mudeng maring basa tegalan.
“Jayèng Laga...!”
“Ya,.Tuan Kaptèn....” semauré Jayèng Laga.
“Kowé orang yakin kalau Bekel Subur tahu ke mana larinya pembrontak-pembrontak republik?”
“Berani sumpah Tuan Kaptèn. Bekel Subur pasti tahu semuanya. Baru saja dia mengancam bahwa pejuang-pejuang republik akan bunuh saya dan Tuan Kapten.....” omongé Jayèng Laga adu-adu.
“Jangan percaya, Meneer. Jojoh raimu, Jayèng! Kowen pancèn ora pantes dadi menungsa. Tegel-tegelé kowen adol bangsané dèwèk maring Landa. Asu tengik, raimu! Dobol....!!!”
“Enyong pancèn tengik, dobol Subur! Tapi raimu luwih badeg. Badeg ledreg! Apa kowen ora rumangsa waktu kodrah bekel, raimu nyrimpung? Raimu sekongkelan karo wong-wong nduwuran?! Kuwé sebabé enyong ora dilulusna. Enyong kelara-lara Subuuurrr......” semauré Jayeng Laga blèh kalah sengité.
“Dongé tah kowen ngaca Jayèng. Kepribèn kowen pan lulus, wong nyatané kowen bodo lido! Apa dadiné adong rayat dipimpin wong sing ora mambu bangku sekolahan, éh? Toli kowen ya wis dicap, kowen kuwé bekas lenggaong....”
“Enyong dadi lenggaong tah....ora neng daerah Tegal oh....”
“Tapi Jayèng. Kejahatané kowen sing ora bisa diampuni rayat, krana sokan ndemeni bojoné uwong. Angger ana wadon mlisning, matané kowen ijo. Kowen kenang-sepata! Pira baé, kowen ngrusak rumahtanggané uwong, éh?!”
“Raimu wadul karo wong nduwuran kaya kuwé? Mugané enyong ora dilulusna nang kodrah bekel? Raimu pancèn asu!!”
“Dasaré dudu kaya kuwé Jayèng. Dasaré.....”
“Ora percaya babar blas! Raimu rusuh ya rusuh. Badeg! Saiki aja takon dosa, dina kiyé raimu bakal dipatèni....” Jayèng Laga, motong omongané Bekel Subur.
“Luwih aji enyong mati, ketimbang dadi penjilat kaya kowen”
Gentong-sauran antara Jayèng Laga kambèn Bekel Subur, sangsaya ruket. Wong loro pada nduwak-nduwak, pada ngomong asu dobol, bangsèt lan ngomong sing blèh pakra. Kaptèn Vantjé van Dèck gobogé nganti budeg. Kalah sèwoté nggebrag mèja.
“Diam kalian!”
“Maaf Tuan Kaptèn. Dia membujuk saya agar mau bergabung dengannya untuk melawan Tuan...” semauré Jayèng Laga adu-adu. Bekel Subur matané dadi mendelik lan atiné culag pol-polan.
“Kunyuk alas! Lasdrag kowen nyocot Jayèng..... jangan percaya dia Meneer!” omongé Bekel Subur.
“Modar saiki kowen, Subur!”
“Curut!” semauré Bekel Subur.
“Tuan Kaptèn! Orang seperti Bekel Subur jangan dikasih ampun. Cambuk dengan rotan, biar bedebah ini mau bicara. Dia itu kaum pemberontak Tuan, perlu dikasih pelajaran” omongé Jayèng Laga mancing dugalé Kaptèn Vantje van Dèck. Dèn bener baé, omongané Jayèng Laga digugu temenan.
Ya! Kaé delengen, sorot matané Kaptèn Vantje van Dèck abang branang. Otot-otot guluné pada manteng. Dèwèké latan njukut kayu penjalin sing dawané samèter. Trus kambèn ngadeg mentang, jangguté Bekel Subur diangkat gonèng pucuké kayu. Jayèng Laga ngumbar ésem nonton Bekel Subur bakal diemplo-emplo gonèng Kaptèn Vantje van Dèck.
“Bekel Subur. Sekarang kowé orang tinggal pilih, mau buka mulut atau rotan ini yang bicara? Katakan di mana pemberontak itu?!” omongé Kaptèn Vantje van Dèck kambèn ngamang-ngamang kayu penjalin.
“Jangan paksa saya untuk buka mulut Meneer. Saya tidak tahu. Saya tidak tahu apa-apa” jawabé Bekel Subur.
“Bekel Subur.....”
“Iya Meneer......”
“Kalau kowé orang buka mulut, saya berjanji tidak akan mengganggu Kota Tegal lagi. En.....kowé orang akan segera saya bebaskan kalau para pemberontak itu sudah saya tangkap!”
“Saya tidak tahu, Meneer....”
“Jadi kowé orang lebih peduli pada pemberontak-pemberontak daripada nyawa kowé orang sendiri, Subur? Baik! Baik, Bekel Subur.....”
Kaptèn Vantje van Dèck culag. Matané sangsaya abang mèrèt. Akhiré kayu penjalin sing dicekel disabet-sabetna maring awaké Bekel Subur. Sambat kaniaya Bekel Subur ngrasakna sabetan. Getih mantur sing pilingané, kempongané, gegeré, lan liya-liyané.
“Kowé orang mau buka mulut apa ini rotan yang bicara Subur?”
“Saya tidak tahu!”
“Kalau kowé orang tidak tahu, siap yang tahu?”
Laka jawaban. Kaptèn Vantje van Dèck nyabeti saporèté. Malahan ora mung disabet-sabetni gèl, tapikèn Bekel Subur ditendang uga kosih kontal adoh saking kerasé. Jogan kebek cècèran getih. Bekel Subur dadi laka dayané. Jayèng Laga manggut-manggut karo mesem, atiné bungah!
“Kopral Conrad! Kopral Parirèa...!!” suwara Kaptèn Vanje van Dèck nggema.
Ora suwé wong loro ngadep maring Kaptèn Vantje van Dèck.
“Siap Kaptèn!”
“Bawa ini orang ke dalam kerangkeng!”
Kopral Conrad lan Kopral Parirèa nyerèt Bekel Subur sisan kursiné. Bekel Subur trus dilebokna nang tahanan. Kaptèn Vantje van Dèck lemes, lempè-lempè. Kringeté tos-tosan kaya kas macul.


KETERANGAN GEMBAR: Lanang Setiawan dengan Piala Penghargaan Seni yang diberikan oleh Pemda Kota Tegal

SAJAK WS RENDRA dalam TERJEMAHAN TEGALAN


Lelakoné Bu Aminah
(Lanjutané Tembangan Banyak)
Alihbahasa: Lanang Setiawan


Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
kowen teka wayah bengi nganggo sepur sing
Jayanagara

Uput-uput kowen anjog
ora kober ngraupan rai
kowen mlebu maring pèron
sing mambuné bacin
kowen glogakan
wong lanang nyekel tangané kowen
kowen ngomong matur nuwun
tapi ujug-ujug kowen krasa
wong lanang mau ngutil dompèté kowen
cangkemé kowen ndomblong
sebabé kagèt ora bisa nggemboran
tapi wong lanang mau malah brangasan:
mbak bed, dèwèké njotos cangkemé kowen
Sepur liwat
wong lanang mau uga liwat
sisan dompèté kowen

Kowen ngadeg nang jogan sing kotor
sewaktu mau, kowen njengkangkang

Karo ngrasakna cangkemé mar lan godras
kowen nekani penjaga keamanan
dèwèké mandeng tapi krasa jiji maring kowen
lan sadurungé kowen kober nyuwara
dèwèké mbentak: “Lunga!”

Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
rainé abang mèrèt
kowen ngadol tindik nang toko
diregani mung separo
kowen nggoleti adiné
sedeng kowen blèh genah panggonané
.........................................................................
“Jebulé :
sing diarani urip mandiri
gudu kur ngrèpotna wong liya
tapi ora ngaruh-biru wong liya.
Arané enyong Aminah, wong dèsa klutuk
teka nang Ibu Kota
nggoleti adiné enyong: Maria Zaitun
Wong sing nang kota madani enyong cèngèng

Maring wong wadon
sing salosmèn karo enyong tak sapa:
“Sugeng énjing!”
lan dèwèké nyemaur: “Karepé kowen apa?”
......................................................................

Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
Aminah!
duwité kowen sangsaya tipis
toli kowen pan nggolèti pegawèan
kowen ndèpé-ndèpé maring sing nduwé losmèn
njaluk pitutur karo dèwèké
Dèwèké ngandani:
“Kiyé jaman susah tapi apa sing bisa kowen lakoni?”
Trus kowen njawab
kowen bisa njahit tau kerja nang salon
uga pernah kerja nang lèstoran.

Dèwèké ngunjal ambegan
kaya-kaya pan nyuwara tapi blèh sida.

Trus matané radan disipitna
mandeng maring rainé kowen
dadané kowen, bangkèkané kowen
lan sikilé kowen.

Dèwèké uga ngomong:
“Kiyé jaman susah. Mung nyong bisa mènèhi kerja maring kowen.”
“Teng pundi?”
“Nang kèné.”
“Kerja napa?”
“Nrima tamu.”
“Tapi teng ngriki pun énten tiang kalih sing nrima tamu.”
“Sing tak maksud:
nrima tamu nang kamaré kowen.”
“Napa?”
“Hasilé ora kur lumayan.
nyong bisa ngadol kowen
sing regané ora pèré-pèré”

Ndadak kowen ngadeg.
Dadané sesek
tangané kowen gemeter
trus ora poyan maning, kowen ngluyur lunga
sawetara dèwèké njubleg
njagong kalem tapi wangkot
....................................................................

“Jebulé:
nyong kudu luwih ati-ati
blèh saben uwong kuwé menungsa
Ning njeroné cahya ana tipu daya
Ning njeroné peteng ana rasa sentosa
Ning gili gedé laka dalan sing nggo liwat
Ning tritisan
laka panggonan sing nggo gendu-gendu rasa
kayong sumpeg ruwangan kiyé
tapi waktu nyong ngranggèh
sing tak cekel mung hawané gèl.....”
......................................................................

Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
akhiré kowen nyambut gawé nang lèstoran
kowen dadi rèwangé tukang masak
muga-mugaha kasembadan, kowen ana gunané
sebab, ahliné kowen nang kèné

Waktu sedina kowen rèwang-rèwang
tukang masaké bungah lan grapyak maring kowen

Waktu rong dinané
dèwèké ngalem-ngalem lan seneng gluwèhan

Waktu telung dinané
polah sikapé kaya bapa-bapa
Barang patang dinané
dèwèké molai miul trus ngremed bokongé kowen
kowen protès nganggo cara alus
lan jaga jarak
kowen semangkinan sopan maring dèwèké

Mung tekané dina kaping lima
dèwèké maksa nyikep kowen
lan dèwèké nyoba nyipoki kowen
Kowen njerit. Kowen mbanggèl
sapanci jangan sop tumplek
gara-gara bengkerengan
Kosihkèn nang enem dinané
kowen dipindah dadi pelayan.

Trus pas nang pitung dinané
kowen radan sembrana maring tamu
sing pancèn nduwé kekarepan
nggrayangi kèmpolé kowen

Waktu tekané dina kaping wolu
kowen dipindah dadi tukang asah-asah piring

Waktu sangang dinané
tukang banyu ngremed susuné kowen
kowen gemboran saseru-seruné
nganti Bendara Agengé tandang misah
dèwèké mandeng maring kowen
dèwèké gèdèg-gèdèg
trus kowen diundang maring kantoré
kowen dieneng-eneng trus diweling pengetèn
malah dèwèké manjeri duwit
lan gaji telung wulan
mbokan baé bisa nggo nglipur

Waktu sepuluh dina seterusé
kowen diprèntah nyalin catetan inventaris lèstoran

Waktu sewelas dinané
Bendara Agengé mènèhi bebungah hadiah
sepasang tindik, kalung lan gelang
jarèné kur nggo penghargaané kowen
sing nduwèni kepribadian
jelas lan tegas

Waktu rolas dinané
dèwèké ngomong soal hobi seni potrèt-memotrèt
kepimèn apiké tata cahya lan ayang-ayang
ébèn bisa ngatokna barang sing ora katon
dadi wujud ora baèn-baèn
sing awité biasa-biasa

Waktu telulas dinané
(sing jarèné uwong angka sial)
dèwèké ngomong:
“Sebagé wong sing ahli potrèt-memotrèt
nyong bisa mbayangna
kepimèn adong awaké kowen wuda
gunung lan lebaké
bisa mènèhi kesempatan warna-warni cahyané
lan ayang-ayangé ketata jempolan
Wong-wong sing édan kaé
duwé tapsir jorok
maring ayu-mulusé awaké kowen
Tapi nyong duwé rasa seni sing pentolan
pèngin ngrekam ayu-mulusé awaké kowen
sing lugu tur ora dirèka-rèkabèn langgeng.

Lan bayarané kowen, nyukupi
Saiki dipikir disit.
Sesuk bisa rembugan maning

”Waktu patbelas dinané
kowen kecoh idu maring bumi
trus ora mlebu kerja
......................................................................

“Sering nemen nyong weruh kranjang res-resan
kosong momplong laka guna manfaaté
filsafat cemantèl nang saben paku
agama mung dadi klèbèt bazaar

O, manèné enyong!
kayong aman nemen kandungané rika!

Waktu nyong nggleleng kepèngin turu
lempongé enyong kisruh, njeplak ngomong!”
........................................................................

Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
nang mètropolitan
Jayanagara
kowen nggolèti adiné
sing blèh genah alamaté

Saèlingané kowen, dèwèké tau ngomong
dèwèké manggon nang
Dalan Delima, nomer 5

Wis ping-loro kowen nekani mrana
lan dèwèké blèh ana

Nang umah kaé akèh wong wadon
lan sing paling tuwa ngomong:
“Sangang taun nyong nang kèné
sing arané Maria Zaitun
laka”

Lan akhiré
sapira lawasé nang Jayanagara
kowen ngerti
nang sebelah kulon kota
jebulé ana Dalan Delima, nomer 5
Mung, kaé kantor pulisi
kowen mrana lan komandané ngomong:
“Pancen, nang kèné ana Dalan Delima, nomer 5
kadèhané ana loro mbang kulon lan mbang wètan
Sing mbang kulon kantoré enyong
ora tau ana Maria Zaitun nang kèné
Sedeng sing mbang wètan.....dados Ibu mpun mriko?”
“Sampun. Dèwèké mboten énten teng mriko”
“Hm. Sing mbang wètan kaé....umah tlembukan”
“Astaghfirullah haladziiim!”
“Ya.”
“Alhamdulillah dèwèké ora nang kana”
“Tapi wong-wong sing nang kana
blèh tau nganggo aran asliné”
“Ya, Allah!”

Sawisé kuwé
kowen ngrasa awaké lèab-lèob
gentoyoran
Apa-apa sing kedadèn
antarané ana lan blèh nana
Lan kowen énggal baé, ora krungu
waktu komandané ngomong:
“Coba sukiki Ibu mampir mrèné maning
sisan nggawa poto karo informasiné
Nyong kabèh sing nang kèné pan mbantu Ibu
nglari dèwèké”

Sukikiné
kowen nglebokna poto adiné
nang dompèté kowen
mung kowen ora lunga maring Kantor Pulisi
Agé-agé kowen nekani Dalan Delima, nomer 5
mbang wètan kota
trus kowen nudukna poto mau
maring wong-wong sing manggoni

Wong wadon sing paling tuwa ngomong:
“Nah, kiyé enyong kenal
mung rong taun, dèwèké ana nang kèné
trus pindah maring panggon liyané
Dasar lagi murub drajaté
saiki malah wis ningkat, klas gedongan
tapi arané gudu Maria Zaitun Aminah!
Ya, arané kuwé!”

“Maria Zaitun aran adiné enyong
muga-muga ana getaran gaib
sing muncul saka njero atiné enyong
ngrasup maring kalbuné kowen.
Nyong dedonga kanggo kowen, adiné enyong
muga-mugaha kahanané kowen
luwih begja ketimbang enyong
Kayong angèl temen
raba impèn sing blèh peta
sing lagi disangga bareng-bareng
waktu nyong kowen njenggelèk tangi turu.

Nyong nyukuri temenan
saben-saben nrima duwit kirimané kowen.
tèsih sempet-sempeté kowen
nyisihna welas asih maring enyong
sajeroné urip pating clongat, gobal-gabèl
Kowen bener-bener wong blabah
Sayang, enyong kowen blèh bisa ketemu
pengarep-arep nggayuh ketemu kowen
wis tak sirep, rep.
Saluguné
ana bab penting sing pan tak omongna.
Apa kowen kemutan
waktu pamungkasé kowen niliki enyong?
Kowen nggandeng wong lanang
sing jarèné bojoné kowen

Telung wulan kepungkur
dèwèké teka maning.
Jarèné ana urusan
nyong ora takon
trus nyediakna panggonan nggo nginep dèwèké nang kèné.

Hubungané enyong karo dèwèké apik nemen
dèwèké bener-bener duwé rasa pengertèn
lan ora kurang-kurang mènèhi gagasan
kosihkèn blèh kepikir
sapira suwèné dèwèké pan manggon nang kèné
Trus
sawijiné bengi
waktu nyong lagi mbayangaken
tekané dèwèké sing mbungahna ati
dèwèké mlebu maring kondongé enyong
nylonong, blèh pamitan.
Separo blai, separo mukjizat
separo miul, separo maksatrus dèwèké nggabrudi enyong.

Sauwisé kuwé
nyong kèlangan imané
Kabèh mau tak ranapi
tanpa ngerti kesimpulané.

Dina sangsaya dina saterusé
nyong karo dèwèké trus nglakoni sing kaya kuwé
tanpa alangan uga wedi-wedi maning
Saben-saben kedadian
luwih nggegep nyong nyikepi dèwèké
nyong keyungyun karo dèwèké

Sawulan bab kuwé kedadèn
dèwèké trus ninggal lunga
Nang selembar surat sing ditinggal
dèwèké njelasna kowen kuwé saluguné gudu bojoné
Kanggo kowen lan kanggo enyong
dèwèké uga pada asingé

Sajegé kuwé, nyong terus nggoleti kowen
sebab, awit mula nyong ngrasa.
Soal kiyé nyong kudu ngomong
Tapi saiki kaya kiyé kedadian nyatané
Umpamané nyong kowen ketemu
nyong kepèngin ngomong
mèh telung wulan nyong mbobot anaké.”
.......................................................

Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
kowen njagong nang ruwangan tunggu
dokter kandungan
Wayahé tèsih ésuk
tapi akèh pasangan
pada nunggu kayadené kowen.
Kowen anteng katon ayem
maca koran.

Akhiré gilirané kowen nyampé
dokter takon :
“Pripun, napa wis mantep dipikir?”
“Mpun, dokter”
Dokter maca catetan maning
sing ana nang mèjatrus uga ngomong :
“Telung wulan!
Tambah wulané, nyong blèh wani
Nyong angkat tangan.
Dadi kudu dina kiyé.”
“Nggih empun, cacak”
“Ya. Saiki tak priksa maning.”

Waktu dokter mriksa
bayi sing nang wetengané ngrogèt-ngrogèt
Trus kowen merem
tangané kowen ngelus wetengé
lan kowen nggeget lambèné
“Pripun? Lara?” takoné dokter
“Mboten. Nikiné ngrogèt-ngrogèt.”
“Kan ora mung saiki ngrogèt-ngrogèté?”

Lan matané kowen mèsih merem
waktu kowen ngomong:
“Kayong tembé kiyé
dèwèké pèngin wadul”

Kowen blèh ngrungu
dokteré nyekakak
trus dèwèké nyekel pundaké kowen
lan ngongkon kowen nganggo
sandangan maning
Sauwisé kowen nganggo sandangan
trus dokteré rampung nulis nota
dèwèké ngomong:
“Kiyé nota nggo kowen.
Coba, maring klinik mbang mburi
jam telu awan ngko tak kerjani”
Ora gugup maning kowen njawab:
“Mboten, dokter kula mangsul”
.................................................................

“Apa sing pan diomongna kowen, anakku?
Adong kowen kuwé ana?
Uga kowen duwé kepènginan?
Umpamané kowen ora lair
blèh bakalan nyong ngrongokna
kowen ngomong.
Apa kowen ora nduwèni rasa wedi
maring angasé jagad kiyé?
Apa kowen ora nduwèni rasa wedi
adong sing ngrandebi maring awaké enyong
uga bisa ngrandebi maring awaké kowen?
Nang njero wetengané enyong
sikilé kowen obah, perkasané por-poran
Jejekané sing ngisyaratna gedé pengrasané
apa kuwé tanda pengandelané kowen
ngrasup nang awaké enyong?

Gelem busung, nyong sumpah maring kowen, anakku
mènèhi kesempatan kowen ngomong
luwih aji katimbang wedi maring dunya!
Nyawang uleté kowen nang njero wetengan
nyong cepet nyadari
ngadepi aniaya drita saporèté
nyatané nyong uga nduwèni keuletan
...................................................................

Gelem busung
sapa-sapa menungsanè ora jègod angon waktu
saluguné urip menungsa bakal kajogan
kejaba menungsa sing nyekeli waton
lan sapa sing ngamalna kebejikan jiwa
lan sapa sing bèla maring kebenaran
lan sapa sing bisa ngolah kesabaran.


Tegal, Kamis 22 Juni 2006


DICOMOT
saka Sajak WS. Rendra sing judulé “Perjalanan BuAminah”, Minggu Pagi No. 16 Tahun ke-48 Minggu Ketiga Juli 1994.

Jumat, 28 November 2008

SAJAK SAJAK DIAH SETYAWATI


Sajak-sajak Diah Setyawati

Lelaki Kecapi dan Istri

Lelaki kumal berparit mata
kujumpai di pinggir kota
mainkan kecapi bersama istri
pernah menjadi gerilyawan semasa revolusi
dua anaknya, keduluan mati
barangkali lantaran perut belum terisi
sanitasi kurang memadai

Lelaki itu terpaku di hadapan
usai memeragakan jemari lentiknya memetik dawai-dawai
sembari mengiringi istri melantunkan megatruh
atau asmarandana
sesekali melirik menatap penuh selidik
katanya : “Wajahmu ngger mirip putriku kang wis kapundhut”.

Ada mendung menggantung pada sudut mata
ibu mana yang membendung
luapan rindu membatu
kerinduan itu selaksa merenangi samudra
mengadili kubur bathinku tanpa suara maupun warna

Lelaki kumal berparit mata menyandang kecapi bersama istri tercinta
kemarin ku sua disamping lampu merah perempatan kota
layu dan kusam saksikan dadu memutar alam
nasib telah main petak umpet
di balik kaos kakinya
yang busuk dan bolong

Adalah lelaki bijak pemilik rumah rindu
kini sering bertandang padaku
menghadiahkan lagu biru dengan suara kecapinya yang mendayu
kami saling memandang
perjuangan lalu, cah ayu
tidaklah sewangi nasi jagung
sedap tercium dari dapur biyung
ibu yang tidak lagi muda itu tiba-tiba
suntingkan melati di telingaku
tergagap lugu berkata

“Kula tresna kalih sliramu” cah ayu
bunga-bunga dalam kabut kesepianku berguguran seketika
daunnya melambai hingga jendela surga

Tegal, 08


Aku Terus Bermimpi

Tentang Negeri Ini

Katanya negeriku gemah ripah loh jinawi
kenapa, penghuninya kurang manusiawi
apalagi jika menyangkut soal rejeki
ah sungguh keji ! gitzu loh !
korupsi bagai bunga kuncup mekar susah layunya

Mimpiku tentang negeri ini adalah negeri cahaya
yang menerangi segala kebebalan dan kegagalan
dalam menyelesaikan tetek bengek persoalan
dari isi perut ; rekening listrik ; sekolah anak-anak
hingga biaya berobat yang bikin tobat

Dunia politik penuh intrik
janji-janji palsu di mimbar-mimbar yang memabukkan
tentang keadilan dan kesejahteraan
tapi kenapa orang-orang banyak lari keluar negeri
jadi babu di negeri sebrang
yang bisa diperlakukan sembarang
sebagai pelacur dan budak-budak
yang tenaganya diperas seperti sapi perah
tidakkah kalian marah
sedikit peduli
tapi toh terjadi berulang kali
sesungguhnya sangatlah sederhana keinginana orang-orang kecil
yang sering diangkut kedalam arus besar
perbaikan nasib, sementara mereka cukup ngemut driji
entah sampai kapan segala keinginan berbiji

Jambrut khatulistiwa semakin semrawut
bersiaplah untuk ngelus dada bersama bagi persada
kejahatan, kekerasan ada di mana-mana
mereka cenderung anarkis, bengis n sadis
maka terpaksa kitapun latah menyumpah : bangsat !
aku terus bermimpi tentang negeri ini jadi cahayanya bangsa
cahayanya nurani, agar tahu diri tak lepas kendali
ramah penduduknya, manis pekertinya
sebab akan kutitipkan anak cucuku, disetebah bumi ini
aku terus bermimpi
dan bermimpi tentang negeri ini
bukan cuma negeri khayalan

Tegal, 08


Saat Maut Menjemput


Bulan jatuh di atas keranda
ziarah siapa aku lancongi dipagi sepi
atau jazadku sendiri
terbaring rapi diesok nanti
menunggumu
dipinggir kebun tebu rumahku
belakang pabrik gula
yang tak pernah kurasa manisnya
pada halte penantian
degup jantung tak beraturan
biarkan aku mandi taubatMu sebentar
agar senyumku mawar
saat kau menimang
jadikan aku pengantinmu yang sempurna
tanpa luka; tanpa cela
kupanggil- panggil cahaya disisa usia
kangenku pada Nur Muhammad
dalam igau atau jaga
pada hening yang paling
jiwa mengasap melawat jauh
pasrahkan penuh
ruhku melabuh
wahai maut yang bakal menjemput
ingin aku menyambutmu
tanpa takut
beri aku kesempatan menata hati
mendidik masa kini dan esok nanti
lebih arif lagi
agar tangga surgaMu mampu kunaiki

Aku rindu sungai yang mengalir susu
rindu salam lembut nabiku
menyapa tidur panjangku

Tegal,08


Persetubuhan Kata-kata

sunyi yang titipkan
syahwatnya pada rahimku
persetubuhan kata – kata
teruslah mengalir pada tiap rongga
hingga sempurna dan tuangkan nafsu
menjadi benih seribu puisi
bukan narasi basi
atau gelisahnya mimpi
sekarang ; apalagi yang tak menjadi jalang
sedang mataMu pun bagai elang
menyalib
nasib
terpanggang
bimbang


Tegal,08


Hujan Belum Juga Reda


hujan belum juga reda
dari balik kaca jendela
masih kuhapal detak wajahmu
seperti sebuah batu
telanjang menungguimu
menampakkan diri kembali

tuhan telah mengkafani segenap kesakitan
meniupkan nafas baru bagi kemumianku
lewat kalimat tasbih yang cahayaNya
menyatukan pecahan jantungku

hujan belum juga reda;
pada perjumpaan suatu ketika nanti
barangkali kita saling gugup mengecup
bahkan ngungun diantara nyala birahi dan asap dendam
bukankah kita sama – sama menyisakan ingatan

hujan belum juga reda;
dari balik kaca jendela
air mata tungguku;
kuharap
tak sia-sia
menyertai kebangkitanmu
menjemput puisi hati
menjadi lebih berarti


Tegal, 08


Untuk Kesabaran

ketika dengung kilau
mata pisau
menghujam risau
pada hatimu yang ibu, mengabu
birunya hampir tak tersisa
jika telah bosan dengan warna kelam

tabuh sekali saja genta
dilogam emosi
sebagai irama pasti
untuk loncat dari jerat
yang memenjara
lihat disana tangan-Nya
melambai dari jendela surga
sesungguhya Ia janjikan
cinta yang melebih
tanpa pilih-pilih
diam-diamlah dalam kelangkanganku; lelaki
siapa gerangan menjelma kupu liar
membakar
api cemburu
bikin rabu matamu

burung bul-bul yang menjaga pintu rahimku
berubah sudah
menjadi sekawanan unggas
meranggas tuntas
nafas cintaku lepas

kubaca sisa luka di wajah sendiri
pada peta yang misteri
kelamin yang asing
matamu bukan lagi sampan atau kemudi
berjalanlah menuju kebenaran; wahai kesabaran
bukanlah penderitaan dan kemiskinan
menyucikan hati manusia
meski pikiran kita yang lemah
tak melihat sesuatupun yang berharga
kecuali kemudahan dan kebahagiaan


Tegal,07


Kutulis dan Kukirim surat

kutulis surat
ke alamat langit
tempat Tuhan menguntit
segala gerak
nafas sesak
luka nganak

kukirim surat
ke alamat hati
tempat menyembunyi
teka-teki dan misteri

kukirim surat
lisan tanpa tulisan
lewat sajadah
tempat air mata tumpah
dalam sujud
rindukan wujud
kasihMu

kukirim surat
pada siapa saja
dimanapun berada
isinya;
setelah kusetubuhi sepi
secepatnya ingin kuakhiri
bantu aku berdiri
agar tak seperti zombie
yang bangun dari mati

lampu-lampu bagai mata hantu
segelas susu telor dan madu
bolehlah sebagai pemicu
semangat baru kawali langkah
bersama nawaitu
kesendirian!
sesungguhnya aku jemu

Tegal,08


Tuhan, Sesungguhnya Akulah

Malu Itu

pada setiap ritme pertemuan
sesungguhnya akulah malu itu
lantaran pasti masih kau simpan kartu namaku
lengkap dengan segala catatan hitam putih
sedang selama ini hati
bagai kuda sembrani
tak terhitung selusin hati tersakiti
ah tersipulah!
tangan yang kotor harus dibasuh
dengan sesal tobat dan sujud sungguh
dari tubuh hingga ruh

ya Rahman, ya Rahim, ya Muhaimin
ajari lidah dan hati se-iya dalam berkata
kompak dan khusuk menyebut asmaMu
sampai gempa, gempar di dalam hati
agar jadi muara tempat berpijak kata bijak
jadi bengawan;
laut gelora
dalam dzikir
Allah, Allah, Allah
pada setiap ritme pertemuan
aku datang memburu rindu cahayaMu
jangan pernah berlalu
kalaulah bunga fasih mengungkap bahasa cinta
tentulah hari bisa melebihinya
maka dengan cinta
untukMu kuletakkan tahta yang paling
mengenyamping dari segala yang nyanding
ya Rabbi,

patrikan kesetiaan pada setiap dinding
nurani tanpa banding
pada setiap ritme pertemuan
biarlah malu itu bersamaku
agar aku merasa menjadi manusia
yang tak sia- sia

Tuhan ….
sesungguhnya, akulah malu itu!

Tegal,08


Jalan Rindu Jalan Membatu


mungkin kau tak kutemu lagi
di jalan rindu, di jalan yang sama membatu
selain puisi, selain mimpi
isak yang tersisa atau
waktu mengisyaratkan tunggu, maybe!

bukankah telah binasa kita dalam mengusung cinta
menuju tahtaNya
tak perlu risau, kelap- kelip nyalanya
yang sesekali masih mencahaya disetiap sepi
biar saja jadi saksi saat bercermin
lewat hati yang menyetia pada kebenaran
mungkin kau tak kutemu lagi
di jalan rindu di jalan yang sama membatu
ketika lorong matamu tak lagi menawarkan kangen
mengalpa, segala ingatan
sedang disini gelisah belum tuntas
masih saja ragu,
menakar rindu
untuk kembali menyeru!



Biodata :
Diah Setyawati berpuluh tahun bergelut dengan puisi, Antologi puisinya : Nyanyian anak Pantai, Tembang Jiwangga, banyak karyanya yang tergabung dalam kumpulan puisi 32 Penyair Jawa Tengah, Jentera Terkasa. Aktif di sanggar asah manah.Tinggal di Pangkah Kabupaten Tegal.

Kamis, 27 November 2008

HUJAN PUISI DI MALAM HUT SASTRA TEGALAN



Hujan Baca Puisi
di Malam Perayaan
HUT Sastra Tegalan

PINGGIR brug Kalimati
ésok metu sing omah aku ngloyor maring kantor
sing kesohor mangkat ésuk
balik soré
kadang-kadang bengi, aku ora ribut bayaran
digawé ana bayarané sapa kuwé?
Kuwé miki aku nang pinggré brug Kalimati alias sorlem

PUISI Tegalan sederhana itu dibacakan Widodo. Ia yang notabene pelukis, Rabu (26/11) malam itu, fasih membacakan puisi karya sendiri di malam HUT Sastra Tegalan.
Puisi dadakan yang dia bikin di HP, judulnya 'Pinggir Brug Kalimati Sorlem'. Aksi Widodo itu bagian kecil dari parade baca puisi Tegalan bak hujan membanjiri wilayah Kalimati dari para apresian acara yang didanai pimpinan KMSWT.
Seperti Ma’sudi Ach. Jeparan yang dikenal berprofesi pemijat, mengawali pembacaan puisi Tegalan berjudul ‘Petani’.

Petani bingung pupuk laka
BBM ngilang kayu disuyad
Laka kowen, ora bakalan bisa manggul senjata
laka kowen laka tenaga
tapi kowen saiki kaniaya
gonèng pejabat-pejabat...

Sindiran, maupun uneg-uneg tentang kuruwetan hidup ditumpahkan tiap pembaca malam itu. Selain Widodo dan Ma’sudi, ada juga Abiet Sabariang (wartawan Infomas Tegal), dan Sunaryo (pesulap). “Di malam Perayaan Hari Sastra Tegalan memang diwajibkan non penyair yang boleh baca puisi Tegalan. Yang merasa sebagai penyair atau sering pentas dilarang baca,” kata seorang penulis antologi puisi tegalan ‘Brug Abang’ Dwi Ery Santoso.
Namun tidak semua asyik menyimak pembacaan puisi Tegalan di malam yang dingin itu. Nurhidayat Poso misalnya, dia tetap cuek memain HP-nya. Meski gayeng, Dayat punya alasan sendiri untuk tidak menyimak pembacaan puisi rekan-rekannya. Mungkin karena sudah biasa kali ya?
Para pendekar seni Tegal yang baru lawatan Merayakan Hari Sastra Tegalan ke Semarang dan Solo hanya duduk manis sambil menilai para pembaca puisi, seperti Bramanthi S Riyadi, Bontot, Hartono dan lain sebagainya yang masih tampak menyisakan lelah di wajahnya. Bahkan, Pi’i, yang kerap melayani nasi dan poci mereka, tak ketinggalan didaulat baca puisi. Setelah dipaksa cukup lama, akhirnya mau juga ia tampil.
Seusai mereka berpuisi Tegalan, pemikiran kritis keluar dari mulut seniman artistik pertunjukan Moh. Azizi, menanyakan tentang sastra Tegalan mau diarahkan kemana?

“Sastra Tegalan pokoknya mau mengikuti lagu Tegalan yang sudah lama dikenal masyarakat Tegal,” jawab salah seorang penulis ‘Si Pengembara Badai’ mantap.
Sedianya malam itu panitia kecil acara akan menghadirkan grup musik keroncong, namun karena terhalang teknis, dibatalkan. Ya, Hari Sastra Tegalan yang diperingati tiap 26 November telah jadi kebanggaan sebagian seniman Tegal yang sejatinya sebagai moment spirit berkarya lebih banyak lagi dan diapresiasi secara luas, sehingga Sastra Tegalan benar-benar punya ‘cakar’ dalam khasanah sastra Nusantara (EK)

KETERANGAN Foto : Widodo (kaos putih) dan Fi'i saat membacakan puisitegalan dalam acara Perayaan Hari Sastra Tegal yang diperingati setiap tanggal 26 Nopember.

Rabu, 26 November 2008

LAWATAN SENIMAN TEGAL di DUA KOTA


Pentas Sastra Tegalan di Dua Kota

Seniman Harus Menghapus
Rasialisme Bahasa



PERAYAAN Hari Sastra Tegalan yang digeber para seniman Tegal, membuat ‘guncangan’ tersendiri di dua; Kota Semarang dan Solo. Lawatan Sastra Tegalan yang dilakukan mereka memberikan pelajaran penting dan nuansa demokrasi agar para seniman bisa menghapus sikaf rasialis terhadap perbedaan bahasa.
Hal itu dikatakan dalang Wayang Suket, Slamet Gundono usai pementasan ‘Perayaan Hari Sastra Tegalan 26 Nopember’ di Taman Budaya Surakarta (TBS) Selasa (25/11). “Saya tercengang dengan penampilan para seniman Tegal mengusung tegalan, dasyat dan memukau. Sudah saatnya seniman kita belajar demokratis agar mampu menghapus sikaf rasialis bahasa manapun termasuk tegalan” tandas Gundono yang ditegaskan Nurhidayat Poso dalam sambutan pementasan di TBS.
Dalam pementasan di Taman Raden Saleh Semarang (TRSS) Senin (24/11) malam, seakan terjadi jèd-jèdan adu kekuatan baca puisi dua bahasa nasional dan tegalan. Dari Semarang para penyair senior turun glanggang seperti Timur Sinar suprabana, Handry TM, Beno Siang Pamungkas, dan lain sebagainya. Sementara Eko Tunas tampil mewakili Semarang dan Tegal. Ia membacakan dua puisi dalam bahasa nasional dan tegalan.
Penampilan Eko mengusung sajak Njaluk Duwité. Ia membaca dua buah puisi di tengah-tengah penonton yang berdesak. Nyong njaluk duwité, nyong njaluk duwité, lengkinan sajak tegalan yang dilepas Eko dengan gaya rocker gaek Ucok Harahab mencengkeram gitar bolak-balik berjalan maju dan mundur, menciptakan nuansa keliaran dengan, luapan, dan harmonisasi terhadap penonton, membuat suasna gegiris dan kemasgulan. Hal yang sama juga terjadi pada saat Nurngudiono membawakan sajak Utang dengan paduan rebana genjring biang yang dikepak pelukis Widodo, dan tiupan trompet yang dimainkan Aziz Ma’ruf. Aktor Bramanthi yang mengusung monolog ‘Waslam’ karya Moch. Hadi Utomo dan juga Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya dengan sajak-sajaknya mengundang kegerahan para penyair Semarang. Mereka seperti tertegun dan tercengan atas penampilan seniman-seniman Tegal.
Keesokan malam di TBS, Selasa (25/11) terjadi hentakan keliaran ekpresif keblakaan bahasa tegalan yang menggemuruh, saat para seniman Tegal meneriakan dinamik dan meluap-luap. Di Gedung Arena Teater Solo, para seniman, mahasiswa, wartawan, dan pengamat sastra berjejal, asyik masgul menyaksikan pementasan mereka. Nurngudiono bersama kelompok rebananya membuka pementasan mengusung lagu Babon Ngoyok-ngoyok Jago disusul Dolanan Rakyat disambut tepukan penonton. Kucuran kata-kata tegalan yang blaka, dan hentakan semakin menjadi-jadi ketika dia mengakhiri musikalisasi puisinya dengan membawakan sajak Utang. Sajak ini berbicara tentang beban utang negara yang sarat. Kolaborasi antara Nurngudiono, dan Nurhidayat Poso sebagai pengendali acara, mencengangkan penonton. Teriakan ‘kata utang’ mereka, memaksa penonton terhenyak dalam kemasgulan karena suguhan mereka total. Juga penampilan Penyair Dia Setyawati tak kalah ekspresif. Dia membawakan sajak Nyangkem dengan goyangan bokong. Nok Ratna meluapkan sajak Wek-wek, Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya dan Dwi Ery Santoso habis-habisan menciptakan pertunjukan semakin dikepung menarik. Suara mereka membuat pengunjung terpaku dan ternganga. Puncak acara, penampilan Bramanthi S Riyadi, melengkapi pementasan. Ia mengusung monolog ‘Waslam’, memainkan peran orang gila penuh tenaga. Ia bergerak ke sana kemari, bertelanjang dada, berdiri di level menyampaikan kegetiran hidupnya di Jakarta hingga gila. Olah vokal, akting yang diekspresikan para seniman Tegal, rata-rata ditumpahkan demikian maksimal untuk kebesaran sastra tegalan. “Saya puas melihat pentas malam ini. Seniman Tegal dengan Komunitas Sorlem mampu membawakan sastra tegalan dalam perayaan Hari Sastra Tegalan ini, menjadi penanda rujukan semangat kedaerahan. Jadi ciri yang kuat di Tegal itu punya akar tradisi yang membumi daripada daerah lain” ujar Kepala Devisi Sastra TBS, Wijang Warek saat mengomentari pementasan tersebut. Hadir dalam kesempatan itu mantan Sekda Rahadjo Kota Tegal (LS )



PERAYAAN - Penampilan Bontot Sukandar saat membacakan sajaknya di TBS, Selasa (25/11) bersama seniman-seniman dari Komunitas Sorlem yang juga sebelumnya melakukan pentas di TRSS, Senin (24/11) acara perayaan Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada tegalan 26 Nopember - Foto NP: Lanang Setiawan

Minggu, 23 November 2008

SEJARAH LAHIRNYA HARI SASTRA TEGALAN 26 NOPEMBER


Sastra Tegalan Sebuah Gerakan Budaya


SITUS Blog ini saya luncurkan untuk menyambut Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada hari Rabu Pon, 26 Nopember 2008.
Hari ini dipilih oleh teman2 saya sastrawan/jurnalis Tegal,
untuk mengingat perjalanan Sastra Tegalan yang berawal di th.90-an dengan terbitnya (dan juga matinya)sederet “media kesadaran “ (Sitok Srengenge,1995) KONTAK, POREM, LITERASI MUARA SASTRA dan TEGAL-TEGAL.
Koran LITERASI memang berhenti terbit pada edisi ke-5 tanggal 25 Nopember 1994. Saya tidak tahu mengapa yang diperingati adalah matinya sebuah koran. Ini sebuah ironi. Barangkali teman2 saya ingin mengatakan : Kematian adalah Awal Kehidupan Baru.Itu tidak penting.Yang penting, SastraTegalan memang selalu bergerak. Karena pada hakekatnya Sastra Tegalan adalah sebuah gerakan budaya. Gerakan kreatifitas. Sastra Tegalan adalah komitmen untuk merawat Bahasa Ibu,sebagai warisan budaya yang sah dari Masyarakat Tegal.Sastra Tegalan adalah sebuah unjuk jati diri dan kebanggaan Sastrawan dan Jurnalis Tegal.Kalau ada Sastra Sunda, Sastra Jawa, Sastra Bali, Sastra Riau, mengapa tidak ada Sastra Tegal ?
Semoga lewat blog Dari Tegal…ini saya dapat terus mencatat “gerakan” Sastra Tegalan.

Jumat, 21 November 2008

Sastra Tegalan Perlu Diperingati



Sastra Tegalan
Perlu Dperingati


PERINGATAN Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada 26 Nopember mendatang, pada tanggal 24 dan 25 Nopember diperingati oleh Komunitas Seniman Tegal ‘Sorlem’. Tidak di Tegal melainkan mereka melakukan lawatan budaya dengan menampilan baca puisi dan monolog tegalan di Taman Raden Saleh Semaran (24/11) dan di Taman Budaya Surakarta (25/11), menjadi sebuah peristiwa budaya yang cukup menarik bagi seniman Moch. Hadi Utomo yang selama ini cukup getol bersastra lewat bahasa Tegal.
Menurut Hadi, sastra tegalan itu meski usianya sudah cukup lama tapi masih butuh pengkuan eksternal.
“Masyarakat kita, pemerintah, dinas kebudayaan dan lain-lain. Mereka perlu terus memasyaratkatkan dan masyarakat perlu diberi informasi bahwa sastra tegalan itu ada dan sudah berkembang cukup pesat” katanya berapi-api ketika mengomentari lawatan budaya yang dilakukan oleh kelompok Sorlem.
Bagi Hadi Utomo, kegiatan peringatan dan lawatan tersebut menegaskan bahwa eksistensi para senimannya yang peduli dengan lokal jenius.
“Sastra tegalan ke depan harus mampu menjadi bagian dari sastra Indonesia seperti sastra daerah lain, Sunda-Bali-Jawa-Riau dan lain-lain. Seniman tidak bisa berjuang sendiri harus didukung penerbit, media, pemerintah, pers dan lain-lain” tambahnya.

Sementara itu Hartono Ch. Surya mengatakan, peringatan Hari Sastra Tegalan sangat penting karena sastra tegalan menjadi tonggak kebangkitan sastra lokal.

"Sastra tegalan membutuhkan eksistensi dan menjadi sebuah ikon yang perlu kita junjung tinggi," ujar Hartono.
Ikut dalam lawatan budaya memperingati Hari Sastra Tegalan di dua kota itu, Dwi Ery Santoso, Nurhidayat Poso, Nurngudiono, Slamet Ambari, Diah Setiyawati, Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya, HM. Iqbal, Ratna, Igho dan lain sebagainya (LS)

Foto : Hartono Ch Surya

Kamis, 20 November 2008

WASLAM Ngambah TRSS dan TBS


Dalam Rangka ‘Hari Sastra Tegalan’

Mamet Usung ‘Waslam’
ke TRSS dan TBS


“HAHAHAAAA…hèèèiii…kiyé aku sing arané Walam! Was-lam. Waslam bin almarhum Kasnan. Yah, bapané nyong pancèn arané Man Kasnan, sing wis mati lagi nyong umur 3 tahun. Adiné nyong wadon sing arané Tarini, waktu kuwé ésih bayi. Manèné aku arané Bi Niti, randa sepocong sing ana ning dèsa kidulé Margasari. Hèèè…hahahaha…kiyèh, aku sing sing arané Waslam. Kowen pada krungu belih?”

Suara Waslam menggelegar di puncak Tugu Monas. Menyebar ke seluruh penjuru. Lalu-lintas macet, orang-orang mendongak ke atas Tugu Monas, melihat Waslam bertelanjang dada berdiri di atasnya. Waslam ngomel-ngomel melihat kesemrawutan lalu-lintas di perempatan Bunderan HI. Ia kadang ketawa semaunya, kadang juga marah sejadi-jadinya ketika melihat Abang Becak yang menyerobot ugal-ugalan di tengah kesemrawutan Kota Metropolitan. Orang-orang dan para pemakai kendaraan yang menambah kemacetan, heran melihat Waslam di puncak Monas.
Lima belas tahun Waslam hidup di Jakarta, jadi gembel di daerah Senen. Berumah kardus dan plastik di pinggir rel kereta api, membuat lika-liku kesumpekan, kebengalan, dan kepongahan Jakarta dia kenali betu. Lima belas tahun, penghasilan Waslam tak menetap, ia menjadi kenet, tukang semis sepatu di terminal Pulo Gadung, bahkan jadi tukang todong di jembatan penyebarangan. Waslam ibarat ingus, nafas, dan bahkan tai dari Kota Jakarta.
Waslam jadi gila, tergencet karena kota semakin maju, dan ketimpangan sosial di mana-mana, mengepung Jakarta. Waslam terlunta-lunta, puncak kegilaan Waslam naik Tugu Monas, berteriak-teriak di atasnya pada orang-orang di bawahnya. Tindakan Waslam merepotkan, keadaan kisruh. Petugas Pemadam Kebakaran turun tangan. Seorang menaiki tangga. Sebuah Helikopter di atasnya berputar-putar, Waslam makin compong, melambai-lambaikan celana dalamnya. Waslam disaut Tim SAR Helikopter, lantas dibawa terbang menggunakan Helikopter. Demikian sepenggal monolog tegalan berjudul ‘Waslam’ karya Moch. Hadi Utomo yang bakal dibawakan Bramanthi S Riyadi dalam acara Perayaan Hari Sastra Tegalan di Taman Raden Saleh Semarang (TRSS) dan Taman Budaya Surakarta (TBS), Senin-Selasa (24-25/11) malam.
Menurut Mamet, sapaan Bramanthi S Riyadi, ia tertarik membawakan monolog ‘Waslam’ karena tema yang diusung Hadi Utomo sangat menarik. Waslam berbicara tentang kepincangan sosial yang justru terjadi di pusat Kota Jakarta yang menjadi kiblat semua orang. Jakarta ternyata bukan sebuah kota yang menjanjikan. Nilai-nilai inilah yang membuat Mamet memendam ‘birahi’ pada naskah ‘Waslam’ dan ingin segera ditumpahkan.
“Memainkan tokoh Waslam, bagi saya punya kebebasan berimprovisasi. Karena di sana ada keliaran, kesumat, dan suasana yang dibangun dalam monolog itu mencekam. Apalagi ditulis dalam bahasa tegalan, menarik untuk sebuah tantangan keaktoran saya!” ujar Mamet.
Pada perayaan Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada 26 Nopember, menurut Dwi Ery Santoso sangat perlu digeber dengan karya-karya tegalan. Baginya, lawatan budaya yang dilakukan para seniman Tegal dengan mengusung karyanya sendiri, dipandang amat penting karena geliat budaya yang mampu ‘dijual’ ke luar kota hanyalah lokal jenius. “Sastra Tegalan sudah membuktikan telah memiliki kekuatan dan menarik audiens di luar kota” tandas Ery.
Menurut Ery, pada lawatan budaya ke dua kota itu, selain ikuti Mamet, Diah Setyawati membawakan puisi tegalan, Dwi Ery Santoso membawakan dua puisi tegalan karya terbarunya, HM. Iqbal membawakan puisi tegalan karya Wakil Walikota Tegal Dr Maufur, juga Nurhidayat Poso, Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya, Slamet Ambari, Ratna, Nurngudiono, Igho, dan Aziz Ramdon. Lawatan budaya ini diprakasai oleh Komunitas Seniman Tegal ‘Sorlem’ (LS)


Foto : MAMET



Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Free PDF Files