Minggu, 25 Oktober 2009

wisnu bangkitkan nasionalisme di pekalongan


Wicaksono Wisnu Legowo adalah sosok anak muda yang kreatif, terbukti dengan berbagai karyanya yang telah menyabet berbagai penghargaan, seperti film Tobong masuk dalam nominasi Festival Film Indonesia (FFI) katagori film pendek (2006), bukan hanya itu, tetapi sekali lagi, pemuda yang masih tercatat sebagai mahasiswa IKJ jurusan film dengan minta utama penyutradaraan ini, menunjukan kepiawaiannya terbukti pada FFI th.2008 juga sebagai nominator dengan garapan yang berjudul "Ibu dan anak-anakku".
pemuda yang kelahiran th.1983 ini, pada tanggal 18 oktober lalu mampu menumbuhkan semangat nasionalisme pada pengunjung acara pemutaran film dokumenter di kampus STAIN Pekalongan dalam acara "Monolog, baca puisi dan pemutaran film" yang diselenggarakan Komunitas Sorlem. film yang berjudul "Kita harus menang" yang menyodorkan ilustrasi sorak-sorai yang menggelegar di Gelora Sukarno dan berkumandang lagu-lagu Indonesia Raya dan Halo-Halo Bandung, sangat menyentuh beberapa mahasiswa yang menghadiri acara tersebut.
"acara yang digelar Komunitas Sorlem ini, merupakan acara yang sangat tepat. Karena sasarannya jelas, yaitu para mahasiswa. ini yang membuat saya sangat bersemangat mengisi acara."jelas Wisnu.
menurutnya, dirinya siap untuk mengisi acara-acara yang sifatnya apresiatip bagi masyarakat. Hal ini nampaknya tidak main-main, terbukti dia telah mendirikan sebuah komunitas Lincak yang beranggotakan anak-anak muda yang apresiatip terhadap dunia seni.
bukan hanya itu, wisnu yang dipercaya memegang komite sinematografi Dewan Kesenian Tegal, pada bulan desember bakal menggelar acara berbagai jenis seni, dari film sampai sastra.

Filmografi

IKAN SISA-SISA Produksi BAGIAN HUMAS DAN PROTOKOL KOTA TEGAL, 2009 PIRATES Produksi FFTV IKJ, 2009 KITA HARUS MENANG Produksi Gudang Production, 2009 TEMAN TAPI RACUN Produksi PEMKOT TEGAL, 2008 IBU DAN ANAK-ANAKKU Produksi FFTV IKJ, 2008 NGARAK BARONGAN Produksi FFTV IKJ, 2008 SERAGAM MERAH PUTIH Produksi FFTV IKJ, 2008 TOBONG Produksi Cahaya, 2006

Jumat, 23 Oktober 2009

demo lukis ary jembrong


Suara Merdeka 06 Maret 2008

Melukis Ambeng di Atas Pintu Air

DI tengah terik matahari, sambil bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, seniman lukis Ari Jembrong tampak serius melukis dengan dua tangannya.

Tak hanya dengan kuas, bahkan kedua tangannya turut berlumuran cat.
Untuk menciptakan efek tertentu, tanpa sungkan dia pun meminum cairan cat akrilik warna, dan serta merta menyemburkan cat di atas kanvas yang dia bentangkan di atas pintu air Kalimati, Jalan Serayu, Kota Tegal.
Tak berapa lama lukisannya bergambar sebuah benteng Pasar Pagi, kapal, dan cap tangan itu dia selesaikan. Selesai melukis di atas canvas, kemudian dia kembali melukis di punggung dan kepala salah satu relawan Edi Junaedi (24).
Kepala Edi dia lumuri dengan cat warna merah, dan tubuhnya dilumuri berbagi warna seperti merah, kuning dan putih.

Tak butuh waktu lama, hanya sekitar 20 menit Ari pun menyelesaikan lukisannya.

Menurut penganut lukisan abstrak ini, Benteng Pasar Pagi dalam lukisannya melambangkan simbol Kota Tegal, Kapal sebagai simbol tumpeng, dan tangan melambangkan para calon gubernur maupun wali kota yang akan mencalonkan diri dalam Pilkada mendatang.

’’Tangan menunjukkan para calon yang akan ikut pilkada. Sedangkan melukis di tubuh dengan cat warna merah di kepala, melambangkan jangan sampai terjadi adu fisik saat Pilkada berlangsung,’’ jelasnya.
Pintu Air

Mengenai melukis di atas pintu air, dia menyebutkan, selain untuk apresiasi, hal ini karena pintu air di manapun tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah.
’’Pemerintah jarang memperhatikan pintu air, banyaknya musibah seperti banjir. karena pintu air tidak diperhatikan,’’ sebutnya.
Demo lukis yang dilakukan oleh Komunitas Sorlem, Rabu (5/3) sekitar pukul 12.00 itu, berhasil menarik perhatian beberapa pengemudi kendaraan dan pejalan kaki yang kebetulan melinas di jalan tersebut.

Ketua Komunitas Sorlem, Bontot Sukandar menyebutkan, ide mengadakan acara itu sendiri tercetus saat dia bersama komunitasnya sedang moci di bawah pohon mangga yang ada di Jalan Serayu.
’’Tema yang kami angkat adalah Ambeng Kota Tegal, karena ambeng (tumpeng) adalah simbol keselamatan. Kami melihat, menjelang Pilkada ini terjadi beberapa konflik di beberapa kubu para calon. Dengan konflik ini para seniman merasa prihatin, sehingga tercetuslah membuat acara ini,’’ jelasnya.
Menurut Bontot, baik lukisan maupun relawan yang bersedia dilukis tubuhnya ini, akan dipajang di atas pintu air Kalimati hingga malam hari. ’’Bahkan lukisan ini sudah ada yang pesan,’’ terangnya. (Cessnasari-15)

Selasa, 20 Oktober 2009

Slamet Riyadi unjuk kebolehan di Pekalongan


menyebut nama Slamet Riyadi sama saja dengan membuka peta perteateran kota tegal pada era 80 an, saat itu aktor yang satu ini kerap dipercaya untuk pegang peran dalam berbagai pementasan teater di kelompoknya (teater RSPD). lakon yang pernah diperaninnya antara lain : Roro Mendut, Langit Berkarat atau Sang Koruptor, Palagan Kuru Setra dll.
satu tahun berlakangan setelah lama "tertidur" dari dunia panggung teater, gairah berteaternya mulai bangkit kembali dimulai dengan pementasan monolog Waslam dipentaskan di TBRS (Semarang) TBS (Surakarta) bersama KOmunitas Sorlem, dengan naskah yang sama aktor yang juga pernah berperan dalam Ronggeng-ronggeng, pentas dihalaman rumah dinas wakil walikota Tegal( Dr.Maufur) pada tanggal 14 desember 2008.
sementara dalam acara di pekalongan mamet (panggilan akrabnya) mementaskan Warto gugat. dalam aksinya dipanggung monolog yang kesekian kalinya mampu merangsang imajinasi para pengunjung yang membawa pada nuansa kegelisahan pada tekana hidup yang menggencetnya sebagai orang kecil.
saat sekarang mamet sedang mempersiapkan naskah baru yang rencananya bakal dipentaskan di Bandung bersama Komunitas Sorlem.
"rasanya saya lebih tertantang untuk bermonolog, dibanding bermain kelompok" ujar mamet.

Senin, 19 Oktober 2009

Komunitas Sorlem ke Pekalongan


komunitas Sorlem segarkan Pekalongan

komunitas Sorlem yang belakangan vakum kegiatan, dikarenakan sebagian anggotanya dipercaya menjadi pengurus Dewan Kesenian Tegal. pada tanggal 17-18 oktober lalu memulai dengan gebrakan di Pekalongan mengusung monolog, baca puisi dan pemutaran film. "acara yang kami gelar di Pekalongan diharapkan bisa memicu gelegak kreatifitas para seniman pekalongan,karena kami rasakan kota yang lebih dikenal sebagai kota batik terasa ayem-ayem saja dalam geliat keseniannya, bahkan cenderumg vakum." ujar Bontot Sukandar ketua Komunitas Sorlem. dalam acara yang digelar kerjasama Komunitas Sorlem dan Teater Zenith STAIN Pekalongan,pada hari pertama 17 okt menyajikan baca puisi Bontot Sukandar yang membawakan 3 puisi Malam menghitung Langkah, saat ada justru tak ada dan puisi dialog karya sendiri, sempat memukau pengunjung. bahkan pada puisi yang ke 3 dibantu Jayanti ketua Teater Zenith terasa ada suasana yang mendukung karena yang dibawakan adalah puisi cinta. "puisi yang aku bawakan itu adalah puisi tentang kota tegal, yang lainnya adalah suasana di facebook,bahkan ada salah satu puisi yang diambil dari status dan komentar dari teman "dekat" dan dikompilasi menjadi satu puisi." jelas Bontot yang sekarang dipercaya sebagai bendahara Dewan Kesenian Tegal. penampilan kedua diisi monolog yang dibawakan Slamet riyadi juga tak kalah menariknya, mamet yang telah diasah keaktorannya puluhan tahun di teater RSPD,bermain dengan total, cuma sayangnya auditorium STAIN tempat acara berlangsung akustiknya tak mendukung, sehingga artikulasi tak sampai ke penonton. setelah dua acara tersebut dilanjutkan dengan diskusi dengan pembicara Estu Marhaento, cukup mengena dengan menceritakan pengalamannya ketika masih nyantrik di bengkel Teater Rendra. seniman-seniman senior pekalongan seperti EDi Keling, Oso, Hadi Lempe dll sempat terpancing untuk membangkitkan kesenian di Pekalongan.
sementara tanggal 18 oktober komunitas sorlem sebagai acara lanjutam mengadakan pemutaran film karya suryo sukarno Pekalongan judul "Pahlawan", sedang film kedua karya Wicaksono Wisnu Legowo " Kita harus menang" sebagai film dokumenter mampu memberikan inspirasi bagi pengunjung untuk lebih menanamkan rasa nasionalisme.

Jumat, 22 Mei 2009

film Warto togel


WARTO TOGEL THE MOVIE
FILM TEGALAN 2


Setelah sukes dengan Tukang-Tukang Kemoncer, Film Tegalan yang banyak ditonton pemirsa lewat internet. Sindoro Multimedia, komunitas film indie Tegal yang dipimpin oleh Ketua Komite Sinematografi Dewan Kesenian Tegal, Andy Prasetyo baru-baru ini mempersiapkan sebuah karya film Tegalan. Tidak tanggung-tanggung konsep yang akan disampaikan dalam film Tegalan ke-2 ini adalah himbauan untuk para penggemar togel.
Film berdurasi 30 menit ini, murni mempergunakan bahasa Tegal dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah standar sinematografi.
“ Selain mempergunakan bahasa Tegal asli, Warto Togel juga ber subtitle bahasa Inggris, karena film ini akan kita screening di Belanda, bekerjasama dengan mahasiswa Indonesia disana” ujar Andy, sutradara Warto Togel.

Sebagai seorang ketua komite film di DKKT, Andy merasa perlu untuk mengangkat bahasa Tegal karena kontaminasi yang dominan dengan unsure budaya luar sangat tinggi, mengingat Tegal sebagai kota transit.
Belakangan, selain usaha untuk menghidupkan bahasa Tegal sebagai bahasa ibu lewat film, karya-karya satra Tegalan pun bermunculan sebagai pendamping dan usaha yang dilakukan oleh para seniman Tegal untuk meng uri-uri bahasa Tegal, diantaranya adalah Lanang Setiawan, Bontot Sukandar, Hadi Utomo dan beberapa seniman lainnya.

Warto Togel yang akan mulai digarap pada tanggal 12 Desember 2008 nanti melibatkan 8 orang crew dan 24 pemain. Hingga saat ini proses produksi sudah mencapai tahap reading scenario.
Sementara itu, scenario yang ditulis oleh Hasan Bisri memuat ide dari seniman di komunitas Sorlem Tegal, diantaranya adalah Dwi Ery Santoso sedangkan untuk peñata musik dipercayakan kepada seniman besar Nurngudiono.

Ketika disinggung tentang synopsis filmnya, Andy mengatakan bahwa film ini merupakan gambaran para penggemar togel “semoga dengan diluncurkannya film ini nanti, sedikit banyak bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik “ ujarnya sambil mengundang masyarakat Kota Tegal untuk ikut menyaksikan film Warto Togel pada pemutaran perdana tanggal 28 Desember nanti di Gedung Kesenian Kota Tegal atau dapat disaksikan di blognya yaitu senimantegal.blogspot.com

Sementara itu disinggung keterkaitan pemerintah dengan produksi film ini, Andy mengatakan sejauh ini dukungan pemerintah terhadap pelestarian bahasa Tegal maupun film Tegalan cukup bagus. Akhirnya Andy mengharapkan kepada warga Tegal sendiri agar dapat bersama-sama melestarikan budaya dan bahasa Tegal yang kian hari kian terkikis oleh budaya dari daerah lain.

Sabtu, 02 Mei 2009

lukisan anak






Pameran Lukisan Anak, Pameran untuk Sang Juara

Laporan Wartawan Kompas Siwi Nurbiajanti

TEGAL, KOMPAS -- Dunia anak merupakan dunia penuh kebebasan.

Kebebasan itu pula yang akhirnya memunculkan berbagai kreatifitas

dalam berkarya, termasuk kreatifitas menggambar.

Berangkat dari ide itu, Galeri Wied Kota Tegal mencoba menyelenggarakan

pameran lukisan anak-anak berprestasi ‘Sang Juara Moncer 2007’.

Pameran digelar di lantai dasar Pasific Mall Kota Tegal, selama delapan hari

mulai Minggu (4/2).

Sebanyak 18 pelukis cilik (usia TK hingga SD) ikut serta dalam acara tersebut.

Tidak kurang dari 60 karya dengan berbagai tema dipamerkan di sana.

Pameran dikhususkan bagi siswa yang bersekolah di Kota Tegal.

Pemilik Galeri Wied, Widodo mengatakan, pameran lukisan dimaksudkan

untuk meramaikan kegiatan seni lukis di Kota Tegal,

khususnya untuk anak-anak.

Pameran itu baru pertama kali diselenggarakan.

Menurutnya, selama ini, karya anak-anak jarang terekspos.

Biasanya karya itu hanya disimpan saja di rumah.

Padahal karya anak-anak justru lebih beragam dan ekspresif

bila dibandingkan karya orang dewasa.

Dengan jiwanya yang masih polos, anak-anak mampu bercerita mengenai sebuah ide,

dalam berbagai ragam goresan.

Selain itu, sejumlah anak-anak di Kota Tegal telah berhasil menunjukkan

prestasi melukis, baik di tingkat lokal maupun provinsi. Oleh karena itu,

agar prestasi tersebut bisa diabadikan, diselenggarakanlah pameran lukisan anak-anak.

Widodo mengatakan, semua lukisan yang dipamerkan di sana

merupakan lukisan yang pernah memenangkan lomba.

Hampir semua karya lukis masih menggunakan pewarna crayon dan spidol.

Meskipun demikian, karya anak-anak tersebut tetap mampu

menggambarkan ide cerita yang ditawarkan pelukisnya.

Seperti lukisan karya Hana Novita Hasan berjudul Perang antar Suku.

Lukisan itu jelas menggambarkan medan pertempuran antara dua golongan,

lengkap dengan senjata yang mereka gunakan.

Meski tidak secara spesifik memperlihatkan asal golongan yang bertempur,

namun ide Hana mampu terekspresikan secara sempurna dalam karya tersebut.

Menurut Hana, proses membuat karya lukis diawali dari kegemarannya menggambar.

Kegiatan itu telah ditekuninya sejak duduk di bangku taman kanak-kanak.

Kehadiran pameran kali ini, ia akui sebagai media yang bagus bagi pengembangan

seni lukis anak-anak. Dalam kegiatan tersebut, Hana menampilkan tujuh karya,

diantaranya berjudul Panjat Pinang, Terumbu Karang, Pasar Tradisional,

Perang antar Suku, dan Bermain.

Selain pameran lukisan, pada hari yang sama juga diselenggarakan pula

lomba menggambar dan mewarnai bagi pemula. Lomba mewarnai diikuti

sekitar 450 peserta dari TK hingga SD kelas III. Sedangka lomba menggambar

diikuti 150 peserta dari siswa SD kelas IV hingga VI.

(diambil dari harian Kompas, Minggu 04 februari 2007)


Tegal Laka-laka?

* Oleh Hartono Ch Surya

SLOGAN Tegal Laka-Laka baru saya ketahui ketika melintas jalan Ahmad Yani, tertempel pada sebuah billboard yang melintang di ruas jalan itu, bertuliskan warna emas menyala. Laka-laka (bahasa Tegal) artinya jarang ada atau langka. Kalau diterjemahkan secara harfiah artinya jarang ada jarang ada atau langka-langka.

Tetapi demikianlah uniknya bahasa Tegal. Perulangan kata; laka yang pertama dimaksudkan sebagai pokok ungkapan, kemudian kata laka kedua merupakan penegas/penyemangat. Kata laka-laka juga berarti; bukan main, hebat, top, luar biasa, sebagai bentuk ungkapan memuji (rasa kagum) terhadap sesuatu hal.

Sebelumnya juga pernah populer slogan Tegal Keminclong Moncer Kotane, slogan yang sebenarnya sudah bagus. Tetapi mau berapa pun slogan itu dibikin tidaklah penting benar, yang penting adalah konsistensinya. Sebagaimana konsistensi Tegal tempo doeloe, Tegal yang disimbolkan sebagai banteng loreng ginoncengan bocah angon.

Simbol banteng loreng adalah gambaran watak orang Tegal yang keras hati dan teguh pendirian, ginoncengan (dibonceng) bocah angon (anak gembala) artinya; betapapun keras watak orang Tegal, ia akan menjadi luluh/lembut bila berhadapan anak gembala sekalipun, asal tahu cara mengambil hatinya. Bocah angon melambangkan si kecil/rakyat kecil yang lugu dan jujur.

Adipati Martoloyo adalah simbol watak pemimpin Tegal yang tegas, keras hati, teguh pendirian, yang meletakkan nilai kebenaran, kejujuran dan harga diri di atas segalanya. Kekuasaan bagi Martoloyo adalah martabat, kekuasaan tanpa martabat adalah pecundang.

Karena tidak ingin jadi pecundang kekuasaan, Martoloyo memilih mati demi harga diri. Brubuh Martoloyo-Martopuro merupakan antiklimaks dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan harga diri itu. "Sekali berarti, setelah itu mati!" (pinjam puisi Chairil Anwar) barangkali itulah sikap Martoloyo selaku penguasa Tegal waktu itu.

Manifestasi Martabat

Kebijakan otonomi (UU No 22 Tahun 1999) barangkali merupakan manifestasi dari martabat/harga diri daerah, sebagaimana sikap Martoloyo, dalam rangka menciptakan kemandirian dan kesejahteraan bersama.

Untuk mencapai itu semua, dibutuhkan para profesional; cerdas, gesit, jujur, bersih, dan berwibawa. Kalaulah pemimpin, maka ia pemimpin yang adil, pemimpin yang tegas, pemimpin yang peka. Pemimpin yang tidak adil, tegas, dan peka adalah pemimpin yang tidak bermartabat.

Banyak kebocoran yang terjadi di daerah lantaran kurangnya profesionalisme penyelenggara negara. Korupsi terus berlangsung. Otonomi seluas-luasnya justru kesempatan korupsi sebanyak-banyaknya.

Indikasi negatif dalam praktik pelaksanaan otonomi daerah, ditengarai banyak pihak, tidak akan mencapai tujuan utama, yakni peningkatan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat, tanpa didukung tenaga profesional yang bersih dan atau pemimpin yang tegas adil dan jujur.

Pemimpin adalah pemegang amanat institusi, maka ia haruslah sang pengayom yang adil, atasan yang tegas, bapak yang bijak, dan orang tua yang peka. Pemimpin tanpa rasa keadilan adalah pemimpin tak bernurani, pemimpin tidak tegas adalah pemimpin lemah, pemimpin tidak bijak adalah pemimpin tak berbudi, dan pemimpin tidak peka adalah pemimpin bebal.

Maka kalau saja sikap kepemimpinan kita berpijak dari rasa keadilan, barangkali Tuhan segera menghentikan azab dan petaka di negeri ini.

Mulailah kepemimpinan di Tegal dengan rasa keadilan yang seluruh. Usut tuntas segala bentuk penyelewengan. Tindak tegas pejabat-pejabat korup. Bersihkan setiap lini dari orang-orang mbandel.

Beri kewenangan penuh Badan Pengawas agar tidak cuma jadi momok bagi pegawai kecil, tapi giliran ketemu pejabat-pejabat nakal, lha kok loyo kehabisan tenaga. Merenunglah barang sejenak; negeri ini telah mencapai rekor tertinggi di bidang korupsi.

Mulailah dari Tegal sayangku, mulailah. Bersihkanlah dari Tegal sayangku, bersihkanlah. Bila suatu saat nanti Adipati Martoloyo bangkit dari tidur panjangnya, maka jangan kaget kalau ia akan bilang; "Tegal Laka-Laka!" (11)

-- Hartono Ch Surya, ketua Yayasan Pustaka Tegal.

( diambil dari harian Suara Merdeka, senin 30 april 2007)

Rabu, 18 Maret 2009


Perdayakan Bahasa Tegalan Lewat Sastra

BAHASA
tegalan sebagai ‘bahasa ibu’ orang Tegal pada Minggu (14/12) malam benar-benar diberdayakan sebagai media ekspresi seni. Puluhan seniman, budayawan dan pejabat tinggi berbaur dalam jèd-jèdan baca puisi tegalan untuk memperingati ‘HUT Sastra Tegalan (HST) Jilit II’ di halaman rumah dinas Wakil Walikota Tegal, Dr Maufur.
Tampil sebagai pembaca puisi pertama, Bontot Sukandar yang disusul pembaca puisi asal Slawi, Ratna dengan vokal lantang penuh penghayatan. Istri Walikota Tegal Terpilih, Hj. Rosalina Ikmal Jaya dapat giliran tampil urutan ketiga. Meski dirinya berasal dari Belitung, namun berupaya menulis dan membaca puisi tegalan.
Rangkaian acara lebih menyatu dalam keasyikan setiap Kelompok Musik Sastra Warung Tegal (KMSWT) pimpinan Nurngudiono membawakan nomor lagu ‘Kowen Dongé Sapa’ yang syairnya ditulis H Ghautsun Nasori.
Setelah itu, jèd-jèdan baca puisi kembali bergulir. Anggota DPRD Kota Tegal, Emma Karimah giliran berikutnya. Ia membaca dua buah puisi karyanya, ‘Clandakan’ dan ‘Money..money..money’. Sebelumnya, kawan semasa kecil Emma yakni selaku sohibul bait, Dr Maufur juga tampil membaca puisi Tegalan berjudul ‘Bahasa Tegal’ yang mengkapkan, Tegal memiliki banyak seniman jempolan yang diolah dalam larik puisi secara parodis.
Malam yang dingin pun tak mampu membendung gema acara yang digelar Komunitas Sorlem tersebut. H Tambari Gustam berpuisi ‘Tulung Nyong Diajari’ diiringi lagu ‘Dolanan Rakyat’, setelahnya narasi budaya Bahasa Tegal oleh Moh Hadi Utomo. Dilanjutkan Diah Setyawati lewat puisi ‘Cangkem’ berurutan membetot mata penonton yang diteruskan pembacaan puisi oleh dosen FH UPS, Hamidah Abdurrachman yang berdandan ala putri India. Tamu kehormatanpun, Ir Teguh Juwarno turut baca puisi ‘Nglamun’ dalam bahasa tegalan. Berikutnya, Ki Barep membaca suluk Tegalan dan berkisah tokoh Lupit, monolog ‘Waslam’ karya Moh Hadi Utomo oleh aktor Bramanthi S Riyadi menghentak penonton lewat aktingnya yang penuh adegan kejutan, boleh dikata menjadi klimaks acara tersebut, sebelum ditutup penampilan Dwi Ery Santoso lewat puisi ‘Brug Abang’ .
Sebagian pertunjukan yang ditampilkan itu, kata pembawa acara Nurhidayat Poso adalah karya yang dipentaskan di Surakarta dan Semarang saat lawatan seniman Tegal memperingati HUT Sastra Tegalan 24-25 November lalu.

“Sedianya, masih banyak lagi tokoh masyarakat, pejabat yang berjed-jedan puisi, tapi berhalangan hadir, termasuk Pak Walikota,” pungkas Ketua Sorlem, Bontot Sukandar.

Seperti diketahui, acara 'Jèd-jèdan Maca Puisi Tegalan Jilid I' berlangsung pada hari Rabu 31 Mei 2006. Saat itu Walikota Tegal Adi Winarso, Bupati Tegal Agus Riyanto, Ghautsun (Ketua DPRD Kota Tegal) dan anggota DPRD lainnya Firdaus Muhtadi, Soetjipton turut juga dalam acar tersebut. Selebihnya para seniman Tegal diantaranya Yono Daryono, Dwi Ery Santoso, Nien Asmara, Denok Harti, Slamet Ambari, H. Tambari Gustam, dan Nurngudiono bersama KMSWT. Acara berlangsung di Gedung Kesenian Tegal.


pentas monolog 3 wajah "pesan rakyat"


TEGAL - Menjelang pemilihan umum legislatif, tiga seniman monolog Kota Tegal menitip pesan untuk calon legislator lewat pentas monolog di Gedung Kesenian Kota Tegal di kampung Kandang Menjangan, Sabtu pekan lalu. Dengan tema "Pesan Rakyat untuk Calon Anggota Legislatif", mereka berharap calon wakil rakyat memahami penderitaan rakyat.

Seniman monolog Bramanti S. Riyadi, Bontot Sukandar, dan Selamet Ambari dari komunitas seniman Ngisor Pelem (Sorlem) Kota Tegal berusaha menggugah masyarakat agar sadar dalam euforia pemilihan anggota legislatif. Mereka tampil dengan latar belakang tumpukan kursi lipat yang menggunung.

Bramanti mengawali penampilan pertama dengan membanting kursi. Ia resah karena kehidupan kesenian di Tegal terjebak oleh ingar-bingar politik kekuasaan. "Kursi! Ya, sebuah kursi yang hadir oleh legitimasi ribuan rakyat Tegal, tapi tak mempedulikan komunitas seni lagi," ujarnya.

Bontot tampil lebih ekspresif. Dengan celoteh bahasa Tegalan, ia menghitung hari pemilihan anggota legislatif 9 April mendatang. "Saya semakin bingung oleh lomba foto liar yang merusak pemandangan Kota Tegal ini," kata Bontot. Ia merasakan nikmatnya duduk di kursi yang sesekali digoyang dan dipenuhi kutu busuk itu. Tapi Bontot mengakhiri penampilannya dengan melemparkan diri dari kursi.

Selamet yang berwajah lugu menampilkan derita pribadinya sebagai penarik becak. Selamet sejatinya seorang penarik becak. Alkisah, ia sukses mendapat hadiah mobil angkutan dari seorang anggota legislatif yang selama ini ia bantu berkeliling ke makam keramat. Tapi nahas, Selamet menabrak orang. Puncaknya, ia mendorong becaknya ke luar gedung pertunjukan sembari marah-marah dan berteriak memanggil dua nama. "Terpaksa aku kejar ke mana pun perginya, untuk bertanggung jawab," kata Slamet ambari.

"sayangnya para caleg yang diharapkan bisa menyaksikan pertunjukan monolog 3 wajah " pesan rakyat, tak hadir. karena menurutku ini adalah pesan rakyat. para caleh nampaknya tak interes dengan pertujukan malam ini" kata bontot sukandar yang juga ketua komunitas sorlem. EDI FAISOL (siambil dr koran tempo senin 16 maret 09)

Jumat, 13 Maret 2009

pentas remojongan gelar 5 film tegal



LIMA film bernuasa kedaerahan kini tengah ditunggu-tunggu masyarakat Tegal. Lima film garapan sineas muda asal Kota Tegal itu siap diputar di halaman gedung Dewan Kesenian Tegal (DKT) dalam “Pentas Seni Remojongan 2”, Minggu (28/12) besok malam. Lima judul film tersebut yakni Warto Togel karya/sutradara Andy Prasetyo, Shinta Berbagi Impian sutradara Dwi Ery Santoso, Jatiwaru sutradara Rasdani Samin, Berkah Centong dan Ibu dan Anak-anaku, keduanya disutradarai Wicaksono Wisnu Legowo.
Acara yang pernah absen satu setengah tahun itu kembali digelar setelah Nurngudiono aktif dalam kepengurusan DKT. Sambutan sineas muda Tegal pun bergelora dengan mengisi acara “Pentas Seni Remojongan 2” yang rencananya digelar satu minggu dari berbagai cabang seni di Tegal. Salah satu sutradara berbakat Andy Prasetyo menyambut positif dengan digelarnya agenda tersebut. Sineas berbakat yang film dokumenternya berjudul Tukang-tukang Kemoncer masuk nominasi pada Festival Film Cannes di Prancis itu kepada NP, Jumat (28/12), tak dapat menutupi rasa gembiranya. Dia mengaku, dengan pemutaran lima film yang bernafaskan kedaerahan itu bakal menjadi pemicu beberapa produksi lain dari para sineas muda asal Kota Tegal. Tidak menutup kemungkinan hal itu akan memancing mereka yang baru belajar mengenal dunia perfilman.
“Pemutaran film dengan genre kelokalan, bakal memberikan sebuah apresiasi positif dan tidak menutup kemunkinan anak-anak yang baru belajar dunia film, tergugah dan mencoba berproduksi. Oleh karenanya saya sangat mendukung dengan digeber kembali pemutaran film pada araca Pentas Seni Remojongan 2” ujar Andy.
Lima film yang bakal diputar itu, masing-masing memiliki daya tarik dengan alur cerita berbeda dari film yang satu ke film lain. Pada film Andy, ia akan berbicara tentang ketegasan sikap, kalau judi togel pada ujungnya menuai badai sengsara. Tokoh Warto digambarkan begitu tragis pada akhir kisah. Ia gila karena judi togel. Pada film Berkah Centong yang dibintangi aktor teater bontot sukandar dan ida fitri, garapan Wicaksono Wisnu Legowo dengan scenario ditulis MF Wibowo ini membidik sejuah perjalanan keeksisan sebuah Warteg bukan ditentukan karena ‘centong’ yang betuah. Melainkan karena menu masakan yang bersih, bermutu dan higenis itulah menjadi pangkal kelanggengan sebuah Warung Tegal. Dalam Shinta Berbagi Impian garapan Dwi Ery Santoso, mengetengahkan bagaimana memilih sekolah tingkat lanjutan pertama yang bermutu bagi para lulusan tingkat sekolah dasar. Dan dua film lainnya tentunya tak kalah menarik untuk ditonton, terutama film Ibu dan Anak-anaku yang berhasil meraih nominasi film pendek FFI 2008. “Film yang skenarionya ditulis Moses Sihombing ini baru pertama kali diputar di Tegal,” tandas Wisnu.
Sedangkan kelima film yang akan diputar nanti, menurut Andy, layak ditonton dan diapresiasi bersama. Ditambahkan, Film Warto Togel yang menggunakan bahasa tegalan, pada tanggal 2 Januari 2009 mendatang akan diputar di negeri Kincir Angin, Belanda dengan subtitle berbahasa Inggris (LS )

Senin, 26 Januari 2009

MUSIK FOLKLORE DAN MUSIK YANG FOLKLORIS
oleh : M. Gunadi Wjaya

Saya akan mengawali tulisan ini dengan memaparkan rangkai peristiwa.Dua bulan yang lalu,saya mengirim sebuah tulisan tentang musik di Blog Sorlem.Tanpa saya duga dan kira,hal tersebut ternyata menuai badai.Saya dikritik,dicaci,dimaki,diserapahi.Apa pasalnya?Saya dianggap melanggar tata cara kepatutan sebagai seorang seniman.Kok bisa?!Ya karena orang-orang yang mengkontra saya memiliki anggapan bahwa musik adalah bentuk seni bunyi.Sebagai seni bunyi,musik seharusnya DIPERDENGARKAN!Bukan ditulis bak sebuah prosa.Tetapi saya menyikapi semua itu dengan amat gembira.Apapun bentuk cacimaki dan sumpah serapahnya,peristiwa tersebut menyiratkan semburat bahwa setidaknya,jika pun tak dibaca,tulisan saya di SORLEM sempat dilirik orang.Di saat yang lain,saya juga mendengar bahwa ada pementasan kesenian yang diadakan oleh orang-orang dengan tendensi politik tertentu.Ini terjadi di kota antah berantah.Hehehehe....Yang ingin saya ujarkan,jika boleh,adalah bahwa ternyata,jika kita berurusan dengan “orang”,kita mau tidak mau berurusan pula dengan multi dimensi.Ada dimensi politik,dimensi perangai,dimensi estetika patut dan tidak patut,yang kalau kita permenungkan,dimensi-dimensi tadi memang manusiawi,karena manusia pada esensinya adalah makhluk yang multi dimensional.Itulah juga kenapa suara hati manusia,senantiasa menjadi bahan kajian yang menarik bagi wacana kreasi seni.Tentu saja karena suara hati manusia adalah cerminan sifat multi dimensional.
Sejak lama orang menjadikan multi dimensional dalam sosok manusia,melalui suara hatinya,sebagai pijakan dan telaah yang senantiasa menyegarkan bagi bidang kreasi seni.Sejak manusia diperangahkan oleh ranah keindahan,sejak itulah seni seperti tak luput dari belaian,dengusan dan bahkan dekapan cetusan suara hati manusia yang tentu saja multi dimensional.Dengan cara lain,dapatlah diujarkan,bahwa karena suara hatinya adalah multi dimensional,manusia senantiasa perlu menyuarakan dirinya,agar dimensi kemanusiaannya menjadi terejawantah,sehingga dengan demikian si manusia tersebut dapat betul-betel memanusiakan dirinya.Saat fenomena ini terjadi,saat itulah FOLKLORE bergincu dan muncul dengan seronok sebagai bagian yang integral dari seni dan mediumnya.
Dari etimologinya,FOLKLORE berporos pada kata FOLK yang layak dipadankan sebagai “orang lokal”.Dalam bahasa Inggris,mungkin ini lebih pas,adalah native tribe.Jadi,folklore adalah pengejawantahan orang lokal.Seni folklore adalah pengejawantahan orang lokal melalui medium seni.Musik Folklore adalah pengejawantahan orang lokal melalui medium seni bunyi.Lha apa yang diejawantahkan?Ya tentu saja suara hatinya yang notabene bersifat multidimensional.Inilah yang membuat musik folklore menjadi menarik.Dan ini pulalah heritage atau “kekayaan” musik folklore.
Ada baiknya dicermati bahwa bidang asupan musik folklore adalah suara hati orang lokal yang multi dimensional.Bagi kebanyakan pemusik,bidang acuan dan asupan seperti ini dianggap mendapatkan forma yang pas melalui format BALADA yang sederhana dengan syair melodik yang dapat pula memiliki kecenderungan resitatif dan bahkan dapat menjadi sebuah ‘pendarasan” (mendaras dimaknai sebagai mendendangkan kalimat dengan frase relatif panjang,menggunakan nada yang resitatif).Dengan demikian,menjadi tersadarlah kita,termaknailah kita bila ada pemusik folklore yang menyanyi tapi seolah membaca.Membaca namun dengan rima ritme dan diksi serta pungtuasi menyanyi.
Bagaimana dengan MUSIK YANG FOLKLORIS seperti pada judul tulisan ini.Seni sebetulnya memiliki esensi dialogis yang interaktif.Karenanya.............silahkan pembaca yang budiman memaknainya sendiri.Tabik.


Ibu dimata Widodo pada kanvas

SEORANG Ibu menjadi inspirasi yang dahsyat untuk sebuah karya yang tak pernah ada habis untuk digali. Ibu adalah keramat manusia, tempat meminta sekaligus selimut terhangat dari haru-biru keresahan jiwa.
Sosok Ibu yang tiada bandingan itu, kini menjadi obyek menarik bagi proses kreatif pelukis Widodo. Bagi Widodo, melukis ibu adalah sebuah pengakuan diri. Pengorbanan ibu dan kasih sayangnya tak mungkin mampu ditebus dengan apapun. Langit boleh runtuh dan gelombang lautan bisa saja menggerus gunung-gunung, namun keiklasan dan keridhoan ibu mengorbankan segala-galanya untuk anak, sepanjang hayat.
“Figur ibu adalah segala-galanya. Aku meletakan ibu dalam obyek lukisan karena sebuah pengkuan diri atas belai kasih sayangnya yang tak bakal aku mampu membalasnya. Ibu, bisa diibaratkan Tuhan dalam kasat mata,” aku Widodo yang ditemui di Komunitas Sorlem, tempat dia melukis dan mendasarkan karya-karyanya.
Widodo mengaku, selama ini dia sudah melukis sosok ibu sekitar 20 buah dengan berbagai macam tema. Ada 5 buah judul lukisan ibu yang dia pajang di markas Sorlem. Dalam karya bertajuk Menghitung Untung, Dodo menampilkan sosok ibu yang tengah menghitung laba. Berikutnya Dodo menumpahkan tema yang cukup menyentak, terutama pada gambar berjudul Kasih Seorang Ibu II, dia mengingatkan kita pada ketulusan, keiklasan dan keridhoan sang ibu. Dalam gambar tersebut, sang ibu dilukis Dodo tengah menyusui anaknya, kendati fisik sang ibu dalam keadaan kering kerontang namun tetap saja dia ceria senantiasa. Menurut Dodo, semua itu adalah pelambang bentuk pengorbanan ibu yang tak mungkin bisa ditebus oleh sang anak dengan pemberiaan apapun.
“Harapan yang ingin aku sampaikan lewat lukisan itu adalah sebuah fragmen kilas balik. Yaitu, dari mana kita ini dibesarkan dan oleh apa darah dan daging kita terbentuk. Oleh karena itu kita musti sadar bahwa figur ibu adalah segala-galanya,” kata Widodo yang agaknya mulai ganti aliran dengan mata berkaca-kaca.
Pada lukisan Kasih Seorang Ibu I, Nglambèni Si Bocah dan Penjual Serabi, masih juga Dodo menyentak-nyentak jiwa penikmat. Selain berkisah tentang kasih sayang ibu, dilukiskan juga kegigihan perjuangan seorang ibu. Misalnya pada lukisan Penjual Serabi, Dodo melukis sosok ibu tua yang rela bermandikan asap tungku saat berjualan kue serabi yang kesemuanya itu demi untuk membesarkan anak-anak.
Oleh Widodo, semua lukisan yang dia goreskan dalam kavas itu dipulas dengan menggunakan dua warna; black and white. Widodo mengaku, dia sengaja menggunakan hanya dua warna itu, biar kelihatan natural.
“Black and White itu disamping natural, tapi efek yang ingin aku sampaikan cukup mengena dan menyentuh, dibanding dengan full color,” katanya yang mengaku bahwa semua lukisan black and white-nya itu dipersiapkan untuk pameran lukisan tunggalnya (*)

Jumat, 23 Januari 2009

hartono ch. surya


cerpenis hartono ch. surya pukau penonton lewat baca puisi

SENIMAN Tegal Hartono Ch. Surya merasa siap melakukan lawatan budaya ke dua kota di Jawa Tengah. Dalam lawatan budaya pada acara Perayaan Hari Sastra Tegalan dimulai hari ini (24/11) ke Taman Raden Saleh Semarang dan Taman Budaya Surakarta (25/11), Hartono mengaku antusias untuk menggebrak pembacaan di dua kota itu dengan keseriusan maksimal untuk menjaga kebesaran nama Kota Tegal dan para seniman di dalamnya. Ia akan membacakan sajak terbarunya berjudul ‘Hompimpah’.
“Saya sudah siap melakukan lawatan pada Perayaan Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada tanggal 26 Nopember mendatang,” kata Hartono di sela-sela latihan kencangnya bersama para seniman yang tergabung di Komunitas Sorlem.
Menurut dia, puisi ‘Hompimpah’ berbicara tentang demokrasi semu, demokrasi tawar-menawar, bursa kekuasaan. “Ibarat bermain hompimpah, kekuasaan adalah semacam membolak-balik tangan, main-main tapi serius, serius tapi main-main. Di sana ada pasar bursanya dan yang terlibat di dalamnya haruslah orang-orang berduit, maka kekuasaan begitu mudah didapat,” tandasnya.
Kekuasaan yang didapat dengan cara hompimpah, maka, katanya lebih lanjut, rakyat tetap saja sebagai obyek penderita. “Ketika mereka telah duduk di dalam gedung, mereka tak lagi peka terhadap jeritan rakyat. Karena gedung-gedung mereka telah kedap suara”
Selain Hartono Ch. Surya, dalam lawatan tersebut ada pula Bramanthi S Riyadi, Joshua Igho, HM. Iqbal, Diah Setyawati, Bontot Sukandar, Dwi Ery Santoso, Nurngudiono, Nurhidayat Poso, Ratna, dan lain sebagainya.
Seperti yang pernah diberitakan dalam NP di kolom wawancara Sabtu lalu, Bontot Sukandar dari Komunitas Sorlem mengatakan, kesengajaan para seniman mengusung bahasa Tegal di dua kota itu semata-mata untuk perjuangan sastra tegalan agar mampu eksis dan menembus batas wilayah, tidak hanya terkungkung di daerah Tegal (LS )

Minggu, 11 Januari 2009

LAGU TRAGEDI JATILAWANG PUKAU PENONTON



Lagu Tragedi Jatilawang
Daya Pukau Konser
KMSWT 'Kanggo Pakwali'

PENAMPILAN pelopor Sastra Tegalan Lanang Setiawan pada malam Konser Musik KMSWT (Komunitas Musik Sastra Warung Tegal) Kanggo Pak Wali, Sabtu (10/1) malam di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal, memberikan suasana segar. Lanang membawakan dua lagu ciptaannya yang cukup hit di Tegal berjudul Tragedi Jatilawang dan Mumpung Ketemu dengan penuh enerjik dan vitalitas.
Pada malam yang diguyur hujan dan angina yang memukul-mukul, Lanang memulai senandung Tegalannya lewat nomor Tragedi Jatilawang. Lagu yang dicipta berdasarkan kejadian nyata yang dialami dia, dibawakan Lanang dengan penampilang yang jelalatan. Ia menari dengan kedua kakinya menendang-nendang, dan tangannya kadang menjutai menuding ke langit. Tak peduli betul pada malam itu pengunjung tumplek blek diantaranya para pejabat dan Walikota Tegal. Gaya penampilannya laiknya Mick Jagger saat beraksi di atas panggung dengan berlari ke sana kemari. Namun dari gayanya yang norak dan acuh bay-bay, justru membawa suasana konser malam itu kian gayeng dan segar.
Hal yang sama juga dilakukannya saat mendendangkan lagu Mumpung Ketemu. Dengan mengobrak-abrik syair lagu itu, dia mengisahkan pertemuannya dengan Adi Winarso sebelum jadi walikota Tegal dan dirinya menjadi kuli tinta. Setelah sepuluh tahun kemudian, ia tetap menjadi kuli tinta sedang Adi sudah dua kali menjabat walikota.
…..
Kayong tembé wingi
nyong ketemu kambèn AW
sepuluh taun sing gemiyen
nang kèné mumpung ketemu

AW dadi walikota
nyong tetep dadi kuli tinta
duwité AW sahahahaha
kuwité ora piraha….


Keberanian Lanang saat melukiskan pertemuannya dengan AW –panggilan akrab Adi Winarso, terasa menggelitik dan tak dipunya oleh para seniman Tegal yang kadang berpura-pura. Lain dengan seniman Lanang yang berani menyampaikan apa adanya seperti ketika sebelum dia membawakan lagunya, Nurngudiono selaku pimpinan KMSW bertanya.
“Malam ini jaré kowen walikota Adi Winarso pibèn, Nang?”
“Biasa”
“Tapi kowen wis bala oya?
“Kadang-kadang ya nyong sengit. Sebab nyong menungsa…?” jawab Lanang yang membuat hadirin cekikikan dan Ir. Teguh Juwarno Staf Khusus Mendikna RI yang juga malam itu tampil membacakan puisi, bertepuk tangan.
Ceplas-cepos dan gaya seniman kerempeng ini, memang menarik dan asyik. Alhasil, pementasan malam itu menjadi sebuah kesegaran yang tak pernah terjadi sepanjang ada pagelaran kesenian di Kota Tegal. Lelaki yang saban harinya menjadi Redaktur Budaya di Harian Nirmala Post ini, menjadi masterpiece yang laka-laka
Ekadila Kurniawan
KETERANGAN GAMBAR - Gaya seniman penerima Man Of The Year 1994, Lanang Setiawan dengan tangan menjuntai-juntai menuding langit seperti yang terjadi di Konser Musik KMSWT Kanggo Pakwali, Sabu 10 Januari di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal Foto : Nino Moebi

Minggu, 04 Januari 2009

puisi Nien Asmara

Pagi yang buruk
; sebuah salam dari sederetan mitios


semenjak itu aku enggan bermain denganmu
kutekuk janjiku saat senyap sayup-sayup
dan suara perempuan mulai gaduh bermain di dapur

haylaaa...selamat pagi keburukan
semalam aku sudah mimpi tentang pagi ini
usai sarapan matang aku akan belajar jadi batu


Danau

aku nelayan itu
aku tak mau menjadi dermaga
tempat bersandar saja
aku mau menangkapmu di gelombang itu
aku mau lepas dari pasang surut
aku mau menyimpanmu
di danauku - bukan di laut lagi
sebab danauku - tempat aman untukmu


Nasib

pergi ke kebun yang apes
menggandeng anak yang kena
typus
-nervousz-
uang di kantong telah ludes
hanya cukup untuk rames....


Saat perempuan sakit hati

tak ada yang lebih hebat
selain perempuan
yang sedang sakit hati
sampai-sampai rasa menjadi zombie
dan hanya mampu
membalikkan kepala
ke lantai
di kala sepi
dalam kamar
yang mungkin sudah
tak berarti


Dinamai perempuan

kata orang
perempuan terlahir dari darah pengatur yang kental
walaupun pikir dan hati menolak, namun mesti bagaimana lagi?
kau harus, wajib, bahkan dengan sedikit memaksa "menerima"
tinggal di bawah ketiak ibumu, duduk dalam cengkraman bapakmu, menangis dalam pengap
bantal kapuk, berabu dalam dapur, tertindih lelaki tak dikenal, hingga bosan mematut diri di depan cermin
tak ada ruang tersisa untukmu
halaaaaah;....tak usahlah menipu diri
potong saja lengan ibumu agar kau tak perlu lagi mencium aroma tubuhnya yang lembab
hancurkan saja lengan bapakmu biar sakitmu hilang
sobek-sobek saja bantalmu, toh masih banyak tempat untuk menangis
belilah berkilo-kilo bedak mahal, matikan bara api itu agar tubuh menjadi wangi
tiduri lelaki manapun yang kau suka, agar nafasmu tak tersengal
maka kau akan bangga pada cermin di hadapanmu


biodata ;
nien asmara
tegal, 24 agustus 1988
studi di universitas diponegoro jurusan ilmu komunikasi
lebih suka menyendiri dari pada kumpul-kumpul trus ngrasani
cita-citanya cuma pengen jadi bupati,hi,hi,hi......
''tetep semangat n selalu tersenyum" :)

Ida Fitri baca puisi

Jumat, 02 Januari 2009

Nana Eres

MENGAJAKMU PULANG

Tak ada yang beda
di hujan
dan kemarau
Jeda diantaranya mengurai doa
pada lengan sunyi

aku tak pernah lagi
mengirim rindu padamu
di hujan
atau kemarau
sebab aku mau menidurkanmu
di atas semak perdu

aku ingin mengajakmu pulang
ke asal mula hatimu
yaitu aku

2007

puisi Nana Eres

Nana Eres

LANGGAM BOCAH

Hari ini kau memaksaku
ke kampungmu

Debu merayuku
di pagutan rumah
ranum sempurna:
Dua tiang besi di sisi,
Ubin kuning di kanan kiri
menyambutku sebelum pintu

”Disini aku bisa jadi siapa saja”

Dan mataku berkilat melihatmu
kau bocah ayu
bisa membangun rumah kayu
di tanah-tanah
di kampung rekah

dewasalah kau
di tangan hangat perempuan
dan lelaki tabah
dengan akar gelisah
dengan mantra
yang terlanjur ditebarkan
mimpi di hunian

lalu kau bercerita:
ibuku perempuan ayu
dengan keranjang dan sepeda
tiap pagi ia bergegas
ke pabrik seberang desa
betapa wangi bau tubuhnya!
melebihi wangi teh yang ia bawa
di guratan kulitnya
yang menua

ayahku sudah tua
betapa bersahaja ia
di kayuh roda tiga!
bacalah keakrabannya
pada becak dan jalan berdebu
pada keringat dan kelu

“tiap pagi aku menyambut terbit matahari
dengan tanganku
yang mengangkat timba di sumur itu

kuambil air
kucuci diriku

Tuhan tak pernah lelah mengisi sumur kami
dan bila mataku menatap tajam ke bawah
sebelum meraih seember air lagi
maka gema dari dalamnya
membisikkan doa di telingaku:
dewasalah sebelum kau jadi payah.”


2008

puisi Nana Eres

Nana eres

Perempuan Kedua
Bagi Faisal Kamandobat

serupa bulan
merawat bumi
pelan-pelan sengaja diredupkan
dan terbitlah kepedihannya tiap pagi

aku
perempuan kedua
bertahun-tahun menunggui kata
dari rapal mantra si pecinta

malam hari
kutuliskan pengakuanku
mungkin saat itu kau sedang melamunkan kenangan di La mama
atau di antara debu-debu jalan Victoria
dan masih saja memuja cerita Hellen Collins
ketika gerimis mengetik-ngetik genting rumahmu
diam- diam malaikat menyampaikannya padamu
pertama,
bagaimana kau akan menggambarkan rambutku
apakah seindah benang sari kembang melati
serupa tikar di taman kota, arak-arakan awan,
atau rintik hujan?
kedua,
bagaimana kesunyianku memabukkan engkau yang riuh
padahal mataku bukan benih matahari
ia tak bisa membuat pejalan silau dan tersesat ke barat;
tempat segalanya tersimpan di kerinduan
serupa nabi dan kitab suci yang dinanti-nanti
ketiga,
aku paham sempurnanya pura-pura
terlebih bagi cinta;
seperih kerikil dan paku di jalan berdebu
maka
kupinjam pagi dari matamu
untuk membangun siang
saat paling tepat bagi mimpi yang hendak kumatikan

dari bibir perempuan kedua
lahirlah setiap kecemasanmu

Tegal, 2008

puisi

AKU MENULIS PUISI DI PASIRMU

Hanya doa
Sembunyi di batubatu
di mawar sunyi
di pagar rindu
di langit sengit
aku menyebut
membawa benang-benang baru
untuk hidupku
hidupmu

ia tertulis di telapak tangan
lihatlah garis-garisnya!
ia tak bisa diubah
bahkan oleh kenangan

Aku
menulis puisi di pasirmu

Ingatkah kau pada lampu tua itu
bangku coklat penuh rayap kayu
Dinding putih penuh kaligrafimu
Tirai hijau berderaiderai
Mendengar rinduku yang tak sampai padamu
Karna kupilih mawar sedang aku berduri
kusembah tiangtiang sedang aku bambu
kubaca zikir sedang aku itu sihir
kuhiba laut sedang aku lembah takut

Aku
menulis puisi di pasirmu

Betapa sakitnya doaku yang menunggu sampai
Diantara doa karang
ikan
ombak
nelayan
para pemabuk di laut itu

aku ingin mengurai cinta
seperti puisi pasir ditulisi pejalan sunyi
meski terhapus gelombang
yang dikirimkan doa ikanikan
meski impian
tak cukup untuk dituliskan

anakanak surau
membaca hurufmu
diantara tiangtiang perahu
ketika matahari mulai sembunyi
aku masih
menulis puisi di pasirmu

2008

puisi Nana Eres

HARI SENIN

Tepat di hari senin
aku katakan padamu
lewat daundaun berguguran
di telapak kakiku
inilah mimpiku yang cuma
di pertemuan kita yang sempurna
di menit-menit yang sempit

“kampus tanpa buku
Bagai pohon tanpa bunga
Rumah tanpa istri
Meja tanpa makanan
dan taman tanpa bunga”

Kau tau, aku kembali
ke dongeng masa kecilku
dulu ibuku bilang:
kau akan menemui hari ini lagi
lengkap dengan bunyi yang sama
lirikan mata
petikan gitar
wangi tanah
kembang pagi dan sore
bau tubuh
rambut
hela nafas
dan kacamataku
tak beda dari asal mula
pun bukan untuk hari seperti ini saja
tapi untuk hari-hari terpilih lain
sebab Tuhan ingin memberi
sebuah mimpi
dalam hari itu untukmu
untuk kau wujudkan
bahkan kau pun akan mengira
bahwa kau pernah ada di hari ini
jauh sebelum hari ini
tanpa tau kenapa

Itu misteri hari, sayang,
Dan sial,
aku bertemu dengan dongeng itu lagi
Masa kecilku itu lagi:
Apakah aku pernah menyimpanmu
dengan sepotong rindu
sebelum ini
atau memang kita dipertemukan Tuhan
lewat mimpi
dan kembali jadi hari yang pasti
ketika kau, di perpustakaan itu,
menunjukkanku dengan angkuh
pada buku-buku
yang lelah berbincang bersama debu

2008


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Free PDF Files