Senin, 26 Januari 2009

MUSIK FOLKLORE DAN MUSIK YANG FOLKLORIS
oleh : M. Gunadi Wjaya

Saya akan mengawali tulisan ini dengan memaparkan rangkai peristiwa.Dua bulan yang lalu,saya mengirim sebuah tulisan tentang musik di Blog Sorlem.Tanpa saya duga dan kira,hal tersebut ternyata menuai badai.Saya dikritik,dicaci,dimaki,diserapahi.Apa pasalnya?Saya dianggap melanggar tata cara kepatutan sebagai seorang seniman.Kok bisa?!Ya karena orang-orang yang mengkontra saya memiliki anggapan bahwa musik adalah bentuk seni bunyi.Sebagai seni bunyi,musik seharusnya DIPERDENGARKAN!Bukan ditulis bak sebuah prosa.Tetapi saya menyikapi semua itu dengan amat gembira.Apapun bentuk cacimaki dan sumpah serapahnya,peristiwa tersebut menyiratkan semburat bahwa setidaknya,jika pun tak dibaca,tulisan saya di SORLEM sempat dilirik orang.Di saat yang lain,saya juga mendengar bahwa ada pementasan kesenian yang diadakan oleh orang-orang dengan tendensi politik tertentu.Ini terjadi di kota antah berantah.Hehehehe....Yang ingin saya ujarkan,jika boleh,adalah bahwa ternyata,jika kita berurusan dengan “orang”,kita mau tidak mau berurusan pula dengan multi dimensi.Ada dimensi politik,dimensi perangai,dimensi estetika patut dan tidak patut,yang kalau kita permenungkan,dimensi-dimensi tadi memang manusiawi,karena manusia pada esensinya adalah makhluk yang multi dimensional.Itulah juga kenapa suara hati manusia,senantiasa menjadi bahan kajian yang menarik bagi wacana kreasi seni.Tentu saja karena suara hati manusia adalah cerminan sifat multi dimensional.
Sejak lama orang menjadikan multi dimensional dalam sosok manusia,melalui suara hatinya,sebagai pijakan dan telaah yang senantiasa menyegarkan bagi bidang kreasi seni.Sejak manusia diperangahkan oleh ranah keindahan,sejak itulah seni seperti tak luput dari belaian,dengusan dan bahkan dekapan cetusan suara hati manusia yang tentu saja multi dimensional.Dengan cara lain,dapatlah diujarkan,bahwa karena suara hatinya adalah multi dimensional,manusia senantiasa perlu menyuarakan dirinya,agar dimensi kemanusiaannya menjadi terejawantah,sehingga dengan demikian si manusia tersebut dapat betul-betel memanusiakan dirinya.Saat fenomena ini terjadi,saat itulah FOLKLORE bergincu dan muncul dengan seronok sebagai bagian yang integral dari seni dan mediumnya.
Dari etimologinya,FOLKLORE berporos pada kata FOLK yang layak dipadankan sebagai “orang lokal”.Dalam bahasa Inggris,mungkin ini lebih pas,adalah native tribe.Jadi,folklore adalah pengejawantahan orang lokal.Seni folklore adalah pengejawantahan orang lokal melalui medium seni.Musik Folklore adalah pengejawantahan orang lokal melalui medium seni bunyi.Lha apa yang diejawantahkan?Ya tentu saja suara hatinya yang notabene bersifat multidimensional.Inilah yang membuat musik folklore menjadi menarik.Dan ini pulalah heritage atau “kekayaan” musik folklore.
Ada baiknya dicermati bahwa bidang asupan musik folklore adalah suara hati orang lokal yang multi dimensional.Bagi kebanyakan pemusik,bidang acuan dan asupan seperti ini dianggap mendapatkan forma yang pas melalui format BALADA yang sederhana dengan syair melodik yang dapat pula memiliki kecenderungan resitatif dan bahkan dapat menjadi sebuah ‘pendarasan” (mendaras dimaknai sebagai mendendangkan kalimat dengan frase relatif panjang,menggunakan nada yang resitatif).Dengan demikian,menjadi tersadarlah kita,termaknailah kita bila ada pemusik folklore yang menyanyi tapi seolah membaca.Membaca namun dengan rima ritme dan diksi serta pungtuasi menyanyi.
Bagaimana dengan MUSIK YANG FOLKLORIS seperti pada judul tulisan ini.Seni sebetulnya memiliki esensi dialogis yang interaktif.Karenanya.............silahkan pembaca yang budiman memaknainya sendiri.Tabik.


Ibu dimata Widodo pada kanvas

SEORANG Ibu menjadi inspirasi yang dahsyat untuk sebuah karya yang tak pernah ada habis untuk digali. Ibu adalah keramat manusia, tempat meminta sekaligus selimut terhangat dari haru-biru keresahan jiwa.
Sosok Ibu yang tiada bandingan itu, kini menjadi obyek menarik bagi proses kreatif pelukis Widodo. Bagi Widodo, melukis ibu adalah sebuah pengakuan diri. Pengorbanan ibu dan kasih sayangnya tak mungkin mampu ditebus dengan apapun. Langit boleh runtuh dan gelombang lautan bisa saja menggerus gunung-gunung, namun keiklasan dan keridhoan ibu mengorbankan segala-galanya untuk anak, sepanjang hayat.
“Figur ibu adalah segala-galanya. Aku meletakan ibu dalam obyek lukisan karena sebuah pengkuan diri atas belai kasih sayangnya yang tak bakal aku mampu membalasnya. Ibu, bisa diibaratkan Tuhan dalam kasat mata,” aku Widodo yang ditemui di Komunitas Sorlem, tempat dia melukis dan mendasarkan karya-karyanya.
Widodo mengaku, selama ini dia sudah melukis sosok ibu sekitar 20 buah dengan berbagai macam tema. Ada 5 buah judul lukisan ibu yang dia pajang di markas Sorlem. Dalam karya bertajuk Menghitung Untung, Dodo menampilkan sosok ibu yang tengah menghitung laba. Berikutnya Dodo menumpahkan tema yang cukup menyentak, terutama pada gambar berjudul Kasih Seorang Ibu II, dia mengingatkan kita pada ketulusan, keiklasan dan keridhoan sang ibu. Dalam gambar tersebut, sang ibu dilukis Dodo tengah menyusui anaknya, kendati fisik sang ibu dalam keadaan kering kerontang namun tetap saja dia ceria senantiasa. Menurut Dodo, semua itu adalah pelambang bentuk pengorbanan ibu yang tak mungkin bisa ditebus oleh sang anak dengan pemberiaan apapun.
“Harapan yang ingin aku sampaikan lewat lukisan itu adalah sebuah fragmen kilas balik. Yaitu, dari mana kita ini dibesarkan dan oleh apa darah dan daging kita terbentuk. Oleh karena itu kita musti sadar bahwa figur ibu adalah segala-galanya,” kata Widodo yang agaknya mulai ganti aliran dengan mata berkaca-kaca.
Pada lukisan Kasih Seorang Ibu I, Nglambèni Si Bocah dan Penjual Serabi, masih juga Dodo menyentak-nyentak jiwa penikmat. Selain berkisah tentang kasih sayang ibu, dilukiskan juga kegigihan perjuangan seorang ibu. Misalnya pada lukisan Penjual Serabi, Dodo melukis sosok ibu tua yang rela bermandikan asap tungku saat berjualan kue serabi yang kesemuanya itu demi untuk membesarkan anak-anak.
Oleh Widodo, semua lukisan yang dia goreskan dalam kavas itu dipulas dengan menggunakan dua warna; black and white. Widodo mengaku, dia sengaja menggunakan hanya dua warna itu, biar kelihatan natural.
“Black and White itu disamping natural, tapi efek yang ingin aku sampaikan cukup mengena dan menyentuh, dibanding dengan full color,” katanya yang mengaku bahwa semua lukisan black and white-nya itu dipersiapkan untuk pameran lukisan tunggalnya (*)

Jumat, 23 Januari 2009

hartono ch. surya


cerpenis hartono ch. surya pukau penonton lewat baca puisi

SENIMAN Tegal Hartono Ch. Surya merasa siap melakukan lawatan budaya ke dua kota di Jawa Tengah. Dalam lawatan budaya pada acara Perayaan Hari Sastra Tegalan dimulai hari ini (24/11) ke Taman Raden Saleh Semarang dan Taman Budaya Surakarta (25/11), Hartono mengaku antusias untuk menggebrak pembacaan di dua kota itu dengan keseriusan maksimal untuk menjaga kebesaran nama Kota Tegal dan para seniman di dalamnya. Ia akan membacakan sajak terbarunya berjudul ‘Hompimpah’.
“Saya sudah siap melakukan lawatan pada Perayaan Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada tanggal 26 Nopember mendatang,” kata Hartono di sela-sela latihan kencangnya bersama para seniman yang tergabung di Komunitas Sorlem.
Menurut dia, puisi ‘Hompimpah’ berbicara tentang demokrasi semu, demokrasi tawar-menawar, bursa kekuasaan. “Ibarat bermain hompimpah, kekuasaan adalah semacam membolak-balik tangan, main-main tapi serius, serius tapi main-main. Di sana ada pasar bursanya dan yang terlibat di dalamnya haruslah orang-orang berduit, maka kekuasaan begitu mudah didapat,” tandasnya.
Kekuasaan yang didapat dengan cara hompimpah, maka, katanya lebih lanjut, rakyat tetap saja sebagai obyek penderita. “Ketika mereka telah duduk di dalam gedung, mereka tak lagi peka terhadap jeritan rakyat. Karena gedung-gedung mereka telah kedap suara”
Selain Hartono Ch. Surya, dalam lawatan tersebut ada pula Bramanthi S Riyadi, Joshua Igho, HM. Iqbal, Diah Setyawati, Bontot Sukandar, Dwi Ery Santoso, Nurngudiono, Nurhidayat Poso, Ratna, dan lain sebagainya.
Seperti yang pernah diberitakan dalam NP di kolom wawancara Sabtu lalu, Bontot Sukandar dari Komunitas Sorlem mengatakan, kesengajaan para seniman mengusung bahasa Tegal di dua kota itu semata-mata untuk perjuangan sastra tegalan agar mampu eksis dan menembus batas wilayah, tidak hanya terkungkung di daerah Tegal (LS )

Minggu, 11 Januari 2009

LAGU TRAGEDI JATILAWANG PUKAU PENONTON



Lagu Tragedi Jatilawang
Daya Pukau Konser
KMSWT 'Kanggo Pakwali'

PENAMPILAN pelopor Sastra Tegalan Lanang Setiawan pada malam Konser Musik KMSWT (Komunitas Musik Sastra Warung Tegal) Kanggo Pak Wali, Sabtu (10/1) malam di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal, memberikan suasana segar. Lanang membawakan dua lagu ciptaannya yang cukup hit di Tegal berjudul Tragedi Jatilawang dan Mumpung Ketemu dengan penuh enerjik dan vitalitas.
Pada malam yang diguyur hujan dan angina yang memukul-mukul, Lanang memulai senandung Tegalannya lewat nomor Tragedi Jatilawang. Lagu yang dicipta berdasarkan kejadian nyata yang dialami dia, dibawakan Lanang dengan penampilang yang jelalatan. Ia menari dengan kedua kakinya menendang-nendang, dan tangannya kadang menjutai menuding ke langit. Tak peduli betul pada malam itu pengunjung tumplek blek diantaranya para pejabat dan Walikota Tegal. Gaya penampilannya laiknya Mick Jagger saat beraksi di atas panggung dengan berlari ke sana kemari. Namun dari gayanya yang norak dan acuh bay-bay, justru membawa suasana konser malam itu kian gayeng dan segar.
Hal yang sama juga dilakukannya saat mendendangkan lagu Mumpung Ketemu. Dengan mengobrak-abrik syair lagu itu, dia mengisahkan pertemuannya dengan Adi Winarso sebelum jadi walikota Tegal dan dirinya menjadi kuli tinta. Setelah sepuluh tahun kemudian, ia tetap menjadi kuli tinta sedang Adi sudah dua kali menjabat walikota.
…..
Kayong tembé wingi
nyong ketemu kambèn AW
sepuluh taun sing gemiyen
nang kèné mumpung ketemu

AW dadi walikota
nyong tetep dadi kuli tinta
duwité AW sahahahaha
kuwité ora piraha….


Keberanian Lanang saat melukiskan pertemuannya dengan AW –panggilan akrab Adi Winarso, terasa menggelitik dan tak dipunya oleh para seniman Tegal yang kadang berpura-pura. Lain dengan seniman Lanang yang berani menyampaikan apa adanya seperti ketika sebelum dia membawakan lagunya, Nurngudiono selaku pimpinan KMSW bertanya.
“Malam ini jaré kowen walikota Adi Winarso pibèn, Nang?”
“Biasa”
“Tapi kowen wis bala oya?
“Kadang-kadang ya nyong sengit. Sebab nyong menungsa…?” jawab Lanang yang membuat hadirin cekikikan dan Ir. Teguh Juwarno Staf Khusus Mendikna RI yang juga malam itu tampil membacakan puisi, bertepuk tangan.
Ceplas-cepos dan gaya seniman kerempeng ini, memang menarik dan asyik. Alhasil, pementasan malam itu menjadi sebuah kesegaran yang tak pernah terjadi sepanjang ada pagelaran kesenian di Kota Tegal. Lelaki yang saban harinya menjadi Redaktur Budaya di Harian Nirmala Post ini, menjadi masterpiece yang laka-laka
Ekadila Kurniawan
KETERANGAN GAMBAR - Gaya seniman penerima Man Of The Year 1994, Lanang Setiawan dengan tangan menjuntai-juntai menuding langit seperti yang terjadi di Konser Musik KMSWT Kanggo Pakwali, Sabu 10 Januari di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal Foto : Nino Moebi

Minggu, 04 Januari 2009

puisi Nien Asmara

Pagi yang buruk
; sebuah salam dari sederetan mitios


semenjak itu aku enggan bermain denganmu
kutekuk janjiku saat senyap sayup-sayup
dan suara perempuan mulai gaduh bermain di dapur

haylaaa...selamat pagi keburukan
semalam aku sudah mimpi tentang pagi ini
usai sarapan matang aku akan belajar jadi batu


Danau

aku nelayan itu
aku tak mau menjadi dermaga
tempat bersandar saja
aku mau menangkapmu di gelombang itu
aku mau lepas dari pasang surut
aku mau menyimpanmu
di danauku - bukan di laut lagi
sebab danauku - tempat aman untukmu


Nasib

pergi ke kebun yang apes
menggandeng anak yang kena
typus
-nervousz-
uang di kantong telah ludes
hanya cukup untuk rames....


Saat perempuan sakit hati

tak ada yang lebih hebat
selain perempuan
yang sedang sakit hati
sampai-sampai rasa menjadi zombie
dan hanya mampu
membalikkan kepala
ke lantai
di kala sepi
dalam kamar
yang mungkin sudah
tak berarti


Dinamai perempuan

kata orang
perempuan terlahir dari darah pengatur yang kental
walaupun pikir dan hati menolak, namun mesti bagaimana lagi?
kau harus, wajib, bahkan dengan sedikit memaksa "menerima"
tinggal di bawah ketiak ibumu, duduk dalam cengkraman bapakmu, menangis dalam pengap
bantal kapuk, berabu dalam dapur, tertindih lelaki tak dikenal, hingga bosan mematut diri di depan cermin
tak ada ruang tersisa untukmu
halaaaaah;....tak usahlah menipu diri
potong saja lengan ibumu agar kau tak perlu lagi mencium aroma tubuhnya yang lembab
hancurkan saja lengan bapakmu biar sakitmu hilang
sobek-sobek saja bantalmu, toh masih banyak tempat untuk menangis
belilah berkilo-kilo bedak mahal, matikan bara api itu agar tubuh menjadi wangi
tiduri lelaki manapun yang kau suka, agar nafasmu tak tersengal
maka kau akan bangga pada cermin di hadapanmu


biodata ;
nien asmara
tegal, 24 agustus 1988
studi di universitas diponegoro jurusan ilmu komunikasi
lebih suka menyendiri dari pada kumpul-kumpul trus ngrasani
cita-citanya cuma pengen jadi bupati,hi,hi,hi......
''tetep semangat n selalu tersenyum" :)

Ida Fitri baca puisi

Jumat, 02 Januari 2009

Nana Eres

MENGAJAKMU PULANG

Tak ada yang beda
di hujan
dan kemarau
Jeda diantaranya mengurai doa
pada lengan sunyi

aku tak pernah lagi
mengirim rindu padamu
di hujan
atau kemarau
sebab aku mau menidurkanmu
di atas semak perdu

aku ingin mengajakmu pulang
ke asal mula hatimu
yaitu aku

2007

puisi Nana Eres

Nana Eres

LANGGAM BOCAH

Hari ini kau memaksaku
ke kampungmu

Debu merayuku
di pagutan rumah
ranum sempurna:
Dua tiang besi di sisi,
Ubin kuning di kanan kiri
menyambutku sebelum pintu

”Disini aku bisa jadi siapa saja”

Dan mataku berkilat melihatmu
kau bocah ayu
bisa membangun rumah kayu
di tanah-tanah
di kampung rekah

dewasalah kau
di tangan hangat perempuan
dan lelaki tabah
dengan akar gelisah
dengan mantra
yang terlanjur ditebarkan
mimpi di hunian

lalu kau bercerita:
ibuku perempuan ayu
dengan keranjang dan sepeda
tiap pagi ia bergegas
ke pabrik seberang desa
betapa wangi bau tubuhnya!
melebihi wangi teh yang ia bawa
di guratan kulitnya
yang menua

ayahku sudah tua
betapa bersahaja ia
di kayuh roda tiga!
bacalah keakrabannya
pada becak dan jalan berdebu
pada keringat dan kelu

“tiap pagi aku menyambut terbit matahari
dengan tanganku
yang mengangkat timba di sumur itu

kuambil air
kucuci diriku

Tuhan tak pernah lelah mengisi sumur kami
dan bila mataku menatap tajam ke bawah
sebelum meraih seember air lagi
maka gema dari dalamnya
membisikkan doa di telingaku:
dewasalah sebelum kau jadi payah.”


2008

puisi Nana Eres

Nana eres

Perempuan Kedua
Bagi Faisal Kamandobat

serupa bulan
merawat bumi
pelan-pelan sengaja diredupkan
dan terbitlah kepedihannya tiap pagi

aku
perempuan kedua
bertahun-tahun menunggui kata
dari rapal mantra si pecinta

malam hari
kutuliskan pengakuanku
mungkin saat itu kau sedang melamunkan kenangan di La mama
atau di antara debu-debu jalan Victoria
dan masih saja memuja cerita Hellen Collins
ketika gerimis mengetik-ngetik genting rumahmu
diam- diam malaikat menyampaikannya padamu
pertama,
bagaimana kau akan menggambarkan rambutku
apakah seindah benang sari kembang melati
serupa tikar di taman kota, arak-arakan awan,
atau rintik hujan?
kedua,
bagaimana kesunyianku memabukkan engkau yang riuh
padahal mataku bukan benih matahari
ia tak bisa membuat pejalan silau dan tersesat ke barat;
tempat segalanya tersimpan di kerinduan
serupa nabi dan kitab suci yang dinanti-nanti
ketiga,
aku paham sempurnanya pura-pura
terlebih bagi cinta;
seperih kerikil dan paku di jalan berdebu
maka
kupinjam pagi dari matamu
untuk membangun siang
saat paling tepat bagi mimpi yang hendak kumatikan

dari bibir perempuan kedua
lahirlah setiap kecemasanmu

Tegal, 2008

puisi

AKU MENULIS PUISI DI PASIRMU

Hanya doa
Sembunyi di batubatu
di mawar sunyi
di pagar rindu
di langit sengit
aku menyebut
membawa benang-benang baru
untuk hidupku
hidupmu

ia tertulis di telapak tangan
lihatlah garis-garisnya!
ia tak bisa diubah
bahkan oleh kenangan

Aku
menulis puisi di pasirmu

Ingatkah kau pada lampu tua itu
bangku coklat penuh rayap kayu
Dinding putih penuh kaligrafimu
Tirai hijau berderaiderai
Mendengar rinduku yang tak sampai padamu
Karna kupilih mawar sedang aku berduri
kusembah tiangtiang sedang aku bambu
kubaca zikir sedang aku itu sihir
kuhiba laut sedang aku lembah takut

Aku
menulis puisi di pasirmu

Betapa sakitnya doaku yang menunggu sampai
Diantara doa karang
ikan
ombak
nelayan
para pemabuk di laut itu

aku ingin mengurai cinta
seperti puisi pasir ditulisi pejalan sunyi
meski terhapus gelombang
yang dikirimkan doa ikanikan
meski impian
tak cukup untuk dituliskan

anakanak surau
membaca hurufmu
diantara tiangtiang perahu
ketika matahari mulai sembunyi
aku masih
menulis puisi di pasirmu

2008

puisi Nana Eres

HARI SENIN

Tepat di hari senin
aku katakan padamu
lewat daundaun berguguran
di telapak kakiku
inilah mimpiku yang cuma
di pertemuan kita yang sempurna
di menit-menit yang sempit

“kampus tanpa buku
Bagai pohon tanpa bunga
Rumah tanpa istri
Meja tanpa makanan
dan taman tanpa bunga”

Kau tau, aku kembali
ke dongeng masa kecilku
dulu ibuku bilang:
kau akan menemui hari ini lagi
lengkap dengan bunyi yang sama
lirikan mata
petikan gitar
wangi tanah
kembang pagi dan sore
bau tubuh
rambut
hela nafas
dan kacamataku
tak beda dari asal mula
pun bukan untuk hari seperti ini saja
tapi untuk hari-hari terpilih lain
sebab Tuhan ingin memberi
sebuah mimpi
dalam hari itu untukmu
untuk kau wujudkan
bahkan kau pun akan mengira
bahwa kau pernah ada di hari ini
jauh sebelum hari ini
tanpa tau kenapa

Itu misteri hari, sayang,
Dan sial,
aku bertemu dengan dongeng itu lagi
Masa kecilku itu lagi:
Apakah aku pernah menyimpanmu
dengan sepotong rindu
sebelum ini
atau memang kita dipertemukan Tuhan
lewat mimpi
dan kembali jadi hari yang pasti
ketika kau, di perpustakaan itu,
menunjukkanku dengan angkuh
pada buku-buku
yang lelah berbincang bersama debu

2008


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Free PDF Files