Sastra Dua Kota di TBRS Semarang Rabu, 26 November 2008 Sastra Dua Kota di TBRS SemarangDialog penyair lewat karya puisi
Foto: Zainal Arifin ZABAGAIMANA jadinya bila penyair-pemyair dari dua kota yang berbeda dipertemukan dalam sebuah panggung pementasan? Bagaimana pula cara dua gaya berpuisi yang berbeda tersebut, harus berdialog dalam sebuah panggung pementasan? Apakah keduanya mampu berkolaborasi, ataukah keduanya justru pecah serta berdiri sendiri? Ya, peristiwa unik inilah yang terlihat di Gedung Serbaguna Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Senin (24/11) lalu, ketika para penyair dari Kota Semarang bermain bersama dengan penyair dari Kota Tegal.
Penyair dari dua pilar daerah seni Jawa Tengah (selain Surakarta tentunya) tersebut, beraksi dalam acara bertajuk Panggung Sastra Dua Kota yang digagas oleh Dewan Kesenia Semarang.
Apakah keduanya berhasil berkolaborasi, ataukah justru mengatur jarak serta menunjukkan kekuatan bersyair masing-masing? Jawabnya, ada di antara kedua pilihan tersebut. Terkadang, sekali dua kali mereka mampu kolaborasi secara apik. Tetapi tidak sekali dua kali pula, naluri kedaerahan mereka bermunculan sehingga terkesan bermain sendiri-sendiri.
Kendati demikian, tidak sedikit penyair dan seniman dari dua kota yang bermunculan dalam pementasan ini. Dari Kota Semarang misalnya, muncul Timur Sinar Suprabana, S Kamto, Handry TM, Beno Siang Pamungkas, Triyanto Triwikromo dan banyak lainnya. Sedang dari Kota Tegal muncul Nurhidayat Poso, Bontot Sukandar, Nur Ngudiono Bramanti, Hartono Ch Surya, dan banyak lainnya.
Ciri KhasYang menarik, ciri khas kepenyairan masing-masing kota terlihat sangat kental. Dari Kota Tegal misalnya, teknik berpuisi mereka banyak diwarnai dengan iringan musik perkusi. Di sela-sela pembacaan puisi, mereka tak sekali dua kali membawakan puisinya dengan irama lagu yang ditabuhi irama perkusi.
Lain lagi dengan penyair Kota Semarang. Sikap yang ditunjukkan cukup simpel, tak perlu mengandalkan irama musik, tetapi mengandalkan kekuatan karakter masing-masing. Timur muncul dengan gayanya berpuisinya yang merdu. S Kamto muncul dengan gayanya yang lantang. Sedang, Beno muncul dengan gaya berpuisi penuh perlawanan.( Zainal Arifin ZA )
Foto: Zainal Arifin ZABAGAIMANA jadinya bila penyair-pemyair dari dua kota yang berbeda dipertemukan dalam sebuah panggung pementasan? Bagaimana pula cara dua gaya berpuisi yang berbeda tersebut, harus berdialog dalam sebuah panggung pementasan? Apakah keduanya mampu berkolaborasi, ataukah keduanya justru pecah serta berdiri sendiri? Ya, peristiwa unik inilah yang terlihat di Gedung Serbaguna Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Senin (24/11) lalu, ketika para penyair dari Kota Semarang bermain bersama dengan penyair dari Kota Tegal.
Penyair dari dua pilar daerah seni Jawa Tengah (selain Surakarta tentunya) tersebut, beraksi dalam acara bertajuk Panggung Sastra Dua Kota yang digagas oleh Dewan Kesenia Semarang.
Apakah keduanya berhasil berkolaborasi, ataukah justru mengatur jarak serta menunjukkan kekuatan bersyair masing-masing? Jawabnya, ada di antara kedua pilihan tersebut. Terkadang, sekali dua kali mereka mampu kolaborasi secara apik. Tetapi tidak sekali dua kali pula, naluri kedaerahan mereka bermunculan sehingga terkesan bermain sendiri-sendiri.
Kendati demikian, tidak sedikit penyair dan seniman dari dua kota yang bermunculan dalam pementasan ini. Dari Kota Semarang misalnya, muncul Timur Sinar Suprabana, S Kamto, Handry TM, Beno Siang Pamungkas, Triyanto Triwikromo dan banyak lainnya. Sedang dari Kota Tegal muncul Nurhidayat Poso, Bontot Sukandar, Nur Ngudiono Bramanti, Hartono Ch Surya, dan banyak lainnya.
Ciri KhasYang menarik, ciri khas kepenyairan masing-masing kota terlihat sangat kental. Dari Kota Tegal misalnya, teknik berpuisi mereka banyak diwarnai dengan iringan musik perkusi. Di sela-sela pembacaan puisi, mereka tak sekali dua kali membawakan puisinya dengan irama lagu yang ditabuhi irama perkusi.
Lain lagi dengan penyair Kota Semarang. Sikap yang ditunjukkan cukup simpel, tak perlu mengandalkan irama musik, tetapi mengandalkan kekuatan karakter masing-masing. Timur muncul dengan gayanya berpuisinya yang merdu. S Kamto muncul dengan gayanya yang lantang. Sedang, Beno muncul dengan gaya berpuisi penuh perlawanan.( Zainal Arifin ZA )
(diambil dar koran sore Wawasan 26 November 08)
0 komentar:
Posting Komentar