Jumat, 28 November 2008

SAJAK SAJAK DIAH SETYAWATI


Sajak-sajak Diah Setyawati

Lelaki Kecapi dan Istri

Lelaki kumal berparit mata
kujumpai di pinggir kota
mainkan kecapi bersama istri
pernah menjadi gerilyawan semasa revolusi
dua anaknya, keduluan mati
barangkali lantaran perut belum terisi
sanitasi kurang memadai

Lelaki itu terpaku di hadapan
usai memeragakan jemari lentiknya memetik dawai-dawai
sembari mengiringi istri melantunkan megatruh
atau asmarandana
sesekali melirik menatap penuh selidik
katanya : “Wajahmu ngger mirip putriku kang wis kapundhut”.

Ada mendung menggantung pada sudut mata
ibu mana yang membendung
luapan rindu membatu
kerinduan itu selaksa merenangi samudra
mengadili kubur bathinku tanpa suara maupun warna

Lelaki kumal berparit mata menyandang kecapi bersama istri tercinta
kemarin ku sua disamping lampu merah perempatan kota
layu dan kusam saksikan dadu memutar alam
nasib telah main petak umpet
di balik kaos kakinya
yang busuk dan bolong

Adalah lelaki bijak pemilik rumah rindu
kini sering bertandang padaku
menghadiahkan lagu biru dengan suara kecapinya yang mendayu
kami saling memandang
perjuangan lalu, cah ayu
tidaklah sewangi nasi jagung
sedap tercium dari dapur biyung
ibu yang tidak lagi muda itu tiba-tiba
suntingkan melati di telingaku
tergagap lugu berkata

“Kula tresna kalih sliramu” cah ayu
bunga-bunga dalam kabut kesepianku berguguran seketika
daunnya melambai hingga jendela surga

Tegal, 08


Aku Terus Bermimpi

Tentang Negeri Ini

Katanya negeriku gemah ripah loh jinawi
kenapa, penghuninya kurang manusiawi
apalagi jika menyangkut soal rejeki
ah sungguh keji ! gitzu loh !
korupsi bagai bunga kuncup mekar susah layunya

Mimpiku tentang negeri ini adalah negeri cahaya
yang menerangi segala kebebalan dan kegagalan
dalam menyelesaikan tetek bengek persoalan
dari isi perut ; rekening listrik ; sekolah anak-anak
hingga biaya berobat yang bikin tobat

Dunia politik penuh intrik
janji-janji palsu di mimbar-mimbar yang memabukkan
tentang keadilan dan kesejahteraan
tapi kenapa orang-orang banyak lari keluar negeri
jadi babu di negeri sebrang
yang bisa diperlakukan sembarang
sebagai pelacur dan budak-budak
yang tenaganya diperas seperti sapi perah
tidakkah kalian marah
sedikit peduli
tapi toh terjadi berulang kali
sesungguhnya sangatlah sederhana keinginana orang-orang kecil
yang sering diangkut kedalam arus besar
perbaikan nasib, sementara mereka cukup ngemut driji
entah sampai kapan segala keinginan berbiji

Jambrut khatulistiwa semakin semrawut
bersiaplah untuk ngelus dada bersama bagi persada
kejahatan, kekerasan ada di mana-mana
mereka cenderung anarkis, bengis n sadis
maka terpaksa kitapun latah menyumpah : bangsat !
aku terus bermimpi tentang negeri ini jadi cahayanya bangsa
cahayanya nurani, agar tahu diri tak lepas kendali
ramah penduduknya, manis pekertinya
sebab akan kutitipkan anak cucuku, disetebah bumi ini
aku terus bermimpi
dan bermimpi tentang negeri ini
bukan cuma negeri khayalan

Tegal, 08


Saat Maut Menjemput


Bulan jatuh di atas keranda
ziarah siapa aku lancongi dipagi sepi
atau jazadku sendiri
terbaring rapi diesok nanti
menunggumu
dipinggir kebun tebu rumahku
belakang pabrik gula
yang tak pernah kurasa manisnya
pada halte penantian
degup jantung tak beraturan
biarkan aku mandi taubatMu sebentar
agar senyumku mawar
saat kau menimang
jadikan aku pengantinmu yang sempurna
tanpa luka; tanpa cela
kupanggil- panggil cahaya disisa usia
kangenku pada Nur Muhammad
dalam igau atau jaga
pada hening yang paling
jiwa mengasap melawat jauh
pasrahkan penuh
ruhku melabuh
wahai maut yang bakal menjemput
ingin aku menyambutmu
tanpa takut
beri aku kesempatan menata hati
mendidik masa kini dan esok nanti
lebih arif lagi
agar tangga surgaMu mampu kunaiki

Aku rindu sungai yang mengalir susu
rindu salam lembut nabiku
menyapa tidur panjangku

Tegal,08


Persetubuhan Kata-kata

sunyi yang titipkan
syahwatnya pada rahimku
persetubuhan kata – kata
teruslah mengalir pada tiap rongga
hingga sempurna dan tuangkan nafsu
menjadi benih seribu puisi
bukan narasi basi
atau gelisahnya mimpi
sekarang ; apalagi yang tak menjadi jalang
sedang mataMu pun bagai elang
menyalib
nasib
terpanggang
bimbang


Tegal,08


Hujan Belum Juga Reda


hujan belum juga reda
dari balik kaca jendela
masih kuhapal detak wajahmu
seperti sebuah batu
telanjang menungguimu
menampakkan diri kembali

tuhan telah mengkafani segenap kesakitan
meniupkan nafas baru bagi kemumianku
lewat kalimat tasbih yang cahayaNya
menyatukan pecahan jantungku

hujan belum juga reda;
pada perjumpaan suatu ketika nanti
barangkali kita saling gugup mengecup
bahkan ngungun diantara nyala birahi dan asap dendam
bukankah kita sama – sama menyisakan ingatan

hujan belum juga reda;
dari balik kaca jendela
air mata tungguku;
kuharap
tak sia-sia
menyertai kebangkitanmu
menjemput puisi hati
menjadi lebih berarti


Tegal, 08


Untuk Kesabaran

ketika dengung kilau
mata pisau
menghujam risau
pada hatimu yang ibu, mengabu
birunya hampir tak tersisa
jika telah bosan dengan warna kelam

tabuh sekali saja genta
dilogam emosi
sebagai irama pasti
untuk loncat dari jerat
yang memenjara
lihat disana tangan-Nya
melambai dari jendela surga
sesungguhya Ia janjikan
cinta yang melebih
tanpa pilih-pilih
diam-diamlah dalam kelangkanganku; lelaki
siapa gerangan menjelma kupu liar
membakar
api cemburu
bikin rabu matamu

burung bul-bul yang menjaga pintu rahimku
berubah sudah
menjadi sekawanan unggas
meranggas tuntas
nafas cintaku lepas

kubaca sisa luka di wajah sendiri
pada peta yang misteri
kelamin yang asing
matamu bukan lagi sampan atau kemudi
berjalanlah menuju kebenaran; wahai kesabaran
bukanlah penderitaan dan kemiskinan
menyucikan hati manusia
meski pikiran kita yang lemah
tak melihat sesuatupun yang berharga
kecuali kemudahan dan kebahagiaan


Tegal,07


Kutulis dan Kukirim surat

kutulis surat
ke alamat langit
tempat Tuhan menguntit
segala gerak
nafas sesak
luka nganak

kukirim surat
ke alamat hati
tempat menyembunyi
teka-teki dan misteri

kukirim surat
lisan tanpa tulisan
lewat sajadah
tempat air mata tumpah
dalam sujud
rindukan wujud
kasihMu

kukirim surat
pada siapa saja
dimanapun berada
isinya;
setelah kusetubuhi sepi
secepatnya ingin kuakhiri
bantu aku berdiri
agar tak seperti zombie
yang bangun dari mati

lampu-lampu bagai mata hantu
segelas susu telor dan madu
bolehlah sebagai pemicu
semangat baru kawali langkah
bersama nawaitu
kesendirian!
sesungguhnya aku jemu

Tegal,08


Tuhan, Sesungguhnya Akulah

Malu Itu

pada setiap ritme pertemuan
sesungguhnya akulah malu itu
lantaran pasti masih kau simpan kartu namaku
lengkap dengan segala catatan hitam putih
sedang selama ini hati
bagai kuda sembrani
tak terhitung selusin hati tersakiti
ah tersipulah!
tangan yang kotor harus dibasuh
dengan sesal tobat dan sujud sungguh
dari tubuh hingga ruh

ya Rahman, ya Rahim, ya Muhaimin
ajari lidah dan hati se-iya dalam berkata
kompak dan khusuk menyebut asmaMu
sampai gempa, gempar di dalam hati
agar jadi muara tempat berpijak kata bijak
jadi bengawan;
laut gelora
dalam dzikir
Allah, Allah, Allah
pada setiap ritme pertemuan
aku datang memburu rindu cahayaMu
jangan pernah berlalu
kalaulah bunga fasih mengungkap bahasa cinta
tentulah hari bisa melebihinya
maka dengan cinta
untukMu kuletakkan tahta yang paling
mengenyamping dari segala yang nyanding
ya Rabbi,

patrikan kesetiaan pada setiap dinding
nurani tanpa banding
pada setiap ritme pertemuan
biarlah malu itu bersamaku
agar aku merasa menjadi manusia
yang tak sia- sia

Tuhan ….
sesungguhnya, akulah malu itu!

Tegal,08


Jalan Rindu Jalan Membatu


mungkin kau tak kutemu lagi
di jalan rindu, di jalan yang sama membatu
selain puisi, selain mimpi
isak yang tersisa atau
waktu mengisyaratkan tunggu, maybe!

bukankah telah binasa kita dalam mengusung cinta
menuju tahtaNya
tak perlu risau, kelap- kelip nyalanya
yang sesekali masih mencahaya disetiap sepi
biar saja jadi saksi saat bercermin
lewat hati yang menyetia pada kebenaran
mungkin kau tak kutemu lagi
di jalan rindu di jalan yang sama membatu
ketika lorong matamu tak lagi menawarkan kangen
mengalpa, segala ingatan
sedang disini gelisah belum tuntas
masih saja ragu,
menakar rindu
untuk kembali menyeru!



Biodata :
Diah Setyawati berpuluh tahun bergelut dengan puisi, Antologi puisinya : Nyanyian anak Pantai, Tembang Jiwangga, banyak karyanya yang tergabung dalam kumpulan puisi 32 Penyair Jawa Tengah, Jentera Terkasa. Aktif di sanggar asah manah.Tinggal di Pangkah Kabupaten Tegal.

Kamis, 27 November 2008

HUJAN PUISI DI MALAM HUT SASTRA TEGALAN



Hujan Baca Puisi
di Malam Perayaan
HUT Sastra Tegalan

PINGGIR brug Kalimati
ésok metu sing omah aku ngloyor maring kantor
sing kesohor mangkat ésuk
balik soré
kadang-kadang bengi, aku ora ribut bayaran
digawé ana bayarané sapa kuwé?
Kuwé miki aku nang pinggré brug Kalimati alias sorlem

PUISI Tegalan sederhana itu dibacakan Widodo. Ia yang notabene pelukis, Rabu (26/11) malam itu, fasih membacakan puisi karya sendiri di malam HUT Sastra Tegalan.
Puisi dadakan yang dia bikin di HP, judulnya 'Pinggir Brug Kalimati Sorlem'. Aksi Widodo itu bagian kecil dari parade baca puisi Tegalan bak hujan membanjiri wilayah Kalimati dari para apresian acara yang didanai pimpinan KMSWT.
Seperti Ma’sudi Ach. Jeparan yang dikenal berprofesi pemijat, mengawali pembacaan puisi Tegalan berjudul ‘Petani’.

Petani bingung pupuk laka
BBM ngilang kayu disuyad
Laka kowen, ora bakalan bisa manggul senjata
laka kowen laka tenaga
tapi kowen saiki kaniaya
gonèng pejabat-pejabat...

Sindiran, maupun uneg-uneg tentang kuruwetan hidup ditumpahkan tiap pembaca malam itu. Selain Widodo dan Ma’sudi, ada juga Abiet Sabariang (wartawan Infomas Tegal), dan Sunaryo (pesulap). “Di malam Perayaan Hari Sastra Tegalan memang diwajibkan non penyair yang boleh baca puisi Tegalan. Yang merasa sebagai penyair atau sering pentas dilarang baca,” kata seorang penulis antologi puisi tegalan ‘Brug Abang’ Dwi Ery Santoso.
Namun tidak semua asyik menyimak pembacaan puisi Tegalan di malam yang dingin itu. Nurhidayat Poso misalnya, dia tetap cuek memain HP-nya. Meski gayeng, Dayat punya alasan sendiri untuk tidak menyimak pembacaan puisi rekan-rekannya. Mungkin karena sudah biasa kali ya?
Para pendekar seni Tegal yang baru lawatan Merayakan Hari Sastra Tegalan ke Semarang dan Solo hanya duduk manis sambil menilai para pembaca puisi, seperti Bramanthi S Riyadi, Bontot, Hartono dan lain sebagainya yang masih tampak menyisakan lelah di wajahnya. Bahkan, Pi’i, yang kerap melayani nasi dan poci mereka, tak ketinggalan didaulat baca puisi. Setelah dipaksa cukup lama, akhirnya mau juga ia tampil.
Seusai mereka berpuisi Tegalan, pemikiran kritis keluar dari mulut seniman artistik pertunjukan Moh. Azizi, menanyakan tentang sastra Tegalan mau diarahkan kemana?

“Sastra Tegalan pokoknya mau mengikuti lagu Tegalan yang sudah lama dikenal masyarakat Tegal,” jawab salah seorang penulis ‘Si Pengembara Badai’ mantap.
Sedianya malam itu panitia kecil acara akan menghadirkan grup musik keroncong, namun karena terhalang teknis, dibatalkan. Ya, Hari Sastra Tegalan yang diperingati tiap 26 November telah jadi kebanggaan sebagian seniman Tegal yang sejatinya sebagai moment spirit berkarya lebih banyak lagi dan diapresiasi secara luas, sehingga Sastra Tegalan benar-benar punya ‘cakar’ dalam khasanah sastra Nusantara (EK)

KETERANGAN Foto : Widodo (kaos putih) dan Fi'i saat membacakan puisitegalan dalam acara Perayaan Hari Sastra Tegal yang diperingati setiap tanggal 26 Nopember.

Rabu, 26 November 2008

LAWATAN SENIMAN TEGAL di DUA KOTA


Pentas Sastra Tegalan di Dua Kota

Seniman Harus Menghapus
Rasialisme Bahasa



PERAYAAN Hari Sastra Tegalan yang digeber para seniman Tegal, membuat ‘guncangan’ tersendiri di dua; Kota Semarang dan Solo. Lawatan Sastra Tegalan yang dilakukan mereka memberikan pelajaran penting dan nuansa demokrasi agar para seniman bisa menghapus sikaf rasialis terhadap perbedaan bahasa.
Hal itu dikatakan dalang Wayang Suket, Slamet Gundono usai pementasan ‘Perayaan Hari Sastra Tegalan 26 Nopember’ di Taman Budaya Surakarta (TBS) Selasa (25/11). “Saya tercengang dengan penampilan para seniman Tegal mengusung tegalan, dasyat dan memukau. Sudah saatnya seniman kita belajar demokratis agar mampu menghapus sikaf rasialis bahasa manapun termasuk tegalan” tandas Gundono yang ditegaskan Nurhidayat Poso dalam sambutan pementasan di TBS.
Dalam pementasan di Taman Raden Saleh Semarang (TRSS) Senin (24/11) malam, seakan terjadi jèd-jèdan adu kekuatan baca puisi dua bahasa nasional dan tegalan. Dari Semarang para penyair senior turun glanggang seperti Timur Sinar suprabana, Handry TM, Beno Siang Pamungkas, dan lain sebagainya. Sementara Eko Tunas tampil mewakili Semarang dan Tegal. Ia membacakan dua puisi dalam bahasa nasional dan tegalan.
Penampilan Eko mengusung sajak Njaluk Duwité. Ia membaca dua buah puisi di tengah-tengah penonton yang berdesak. Nyong njaluk duwité, nyong njaluk duwité, lengkinan sajak tegalan yang dilepas Eko dengan gaya rocker gaek Ucok Harahab mencengkeram gitar bolak-balik berjalan maju dan mundur, menciptakan nuansa keliaran dengan, luapan, dan harmonisasi terhadap penonton, membuat suasna gegiris dan kemasgulan. Hal yang sama juga terjadi pada saat Nurngudiono membawakan sajak Utang dengan paduan rebana genjring biang yang dikepak pelukis Widodo, dan tiupan trompet yang dimainkan Aziz Ma’ruf. Aktor Bramanthi yang mengusung monolog ‘Waslam’ karya Moch. Hadi Utomo dan juga Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya dengan sajak-sajaknya mengundang kegerahan para penyair Semarang. Mereka seperti tertegun dan tercengan atas penampilan seniman-seniman Tegal.
Keesokan malam di TBS, Selasa (25/11) terjadi hentakan keliaran ekpresif keblakaan bahasa tegalan yang menggemuruh, saat para seniman Tegal meneriakan dinamik dan meluap-luap. Di Gedung Arena Teater Solo, para seniman, mahasiswa, wartawan, dan pengamat sastra berjejal, asyik masgul menyaksikan pementasan mereka. Nurngudiono bersama kelompok rebananya membuka pementasan mengusung lagu Babon Ngoyok-ngoyok Jago disusul Dolanan Rakyat disambut tepukan penonton. Kucuran kata-kata tegalan yang blaka, dan hentakan semakin menjadi-jadi ketika dia mengakhiri musikalisasi puisinya dengan membawakan sajak Utang. Sajak ini berbicara tentang beban utang negara yang sarat. Kolaborasi antara Nurngudiono, dan Nurhidayat Poso sebagai pengendali acara, mencengangkan penonton. Teriakan ‘kata utang’ mereka, memaksa penonton terhenyak dalam kemasgulan karena suguhan mereka total. Juga penampilan Penyair Dia Setyawati tak kalah ekspresif. Dia membawakan sajak Nyangkem dengan goyangan bokong. Nok Ratna meluapkan sajak Wek-wek, Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya dan Dwi Ery Santoso habis-habisan menciptakan pertunjukan semakin dikepung menarik. Suara mereka membuat pengunjung terpaku dan ternganga. Puncak acara, penampilan Bramanthi S Riyadi, melengkapi pementasan. Ia mengusung monolog ‘Waslam’, memainkan peran orang gila penuh tenaga. Ia bergerak ke sana kemari, bertelanjang dada, berdiri di level menyampaikan kegetiran hidupnya di Jakarta hingga gila. Olah vokal, akting yang diekspresikan para seniman Tegal, rata-rata ditumpahkan demikian maksimal untuk kebesaran sastra tegalan. “Saya puas melihat pentas malam ini. Seniman Tegal dengan Komunitas Sorlem mampu membawakan sastra tegalan dalam perayaan Hari Sastra Tegalan ini, menjadi penanda rujukan semangat kedaerahan. Jadi ciri yang kuat di Tegal itu punya akar tradisi yang membumi daripada daerah lain” ujar Kepala Devisi Sastra TBS, Wijang Warek saat mengomentari pementasan tersebut. Hadir dalam kesempatan itu mantan Sekda Rahadjo Kota Tegal (LS )



PERAYAAN - Penampilan Bontot Sukandar saat membacakan sajaknya di TBS, Selasa (25/11) bersama seniman-seniman dari Komunitas Sorlem yang juga sebelumnya melakukan pentas di TRSS, Senin (24/11) acara perayaan Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada tegalan 26 Nopember - Foto NP: Lanang Setiawan

Minggu, 23 November 2008

SEJARAH LAHIRNYA HARI SASTRA TEGALAN 26 NOPEMBER


Sastra Tegalan Sebuah Gerakan Budaya


SITUS Blog ini saya luncurkan untuk menyambut Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada hari Rabu Pon, 26 Nopember 2008.
Hari ini dipilih oleh teman2 saya sastrawan/jurnalis Tegal,
untuk mengingat perjalanan Sastra Tegalan yang berawal di th.90-an dengan terbitnya (dan juga matinya)sederet “media kesadaran “ (Sitok Srengenge,1995) KONTAK, POREM, LITERASI MUARA SASTRA dan TEGAL-TEGAL.
Koran LITERASI memang berhenti terbit pada edisi ke-5 tanggal 25 Nopember 1994. Saya tidak tahu mengapa yang diperingati adalah matinya sebuah koran. Ini sebuah ironi. Barangkali teman2 saya ingin mengatakan : Kematian adalah Awal Kehidupan Baru.Itu tidak penting.Yang penting, SastraTegalan memang selalu bergerak. Karena pada hakekatnya Sastra Tegalan adalah sebuah gerakan budaya. Gerakan kreatifitas. Sastra Tegalan adalah komitmen untuk merawat Bahasa Ibu,sebagai warisan budaya yang sah dari Masyarakat Tegal.Sastra Tegalan adalah sebuah unjuk jati diri dan kebanggaan Sastrawan dan Jurnalis Tegal.Kalau ada Sastra Sunda, Sastra Jawa, Sastra Bali, Sastra Riau, mengapa tidak ada Sastra Tegal ?
Semoga lewat blog Dari Tegal…ini saya dapat terus mencatat “gerakan” Sastra Tegalan.

Jumat, 21 November 2008

Sastra Tegalan Perlu Diperingati



Sastra Tegalan
Perlu Dperingati


PERINGATAN Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada 26 Nopember mendatang, pada tanggal 24 dan 25 Nopember diperingati oleh Komunitas Seniman Tegal ‘Sorlem’. Tidak di Tegal melainkan mereka melakukan lawatan budaya dengan menampilan baca puisi dan monolog tegalan di Taman Raden Saleh Semaran (24/11) dan di Taman Budaya Surakarta (25/11), menjadi sebuah peristiwa budaya yang cukup menarik bagi seniman Moch. Hadi Utomo yang selama ini cukup getol bersastra lewat bahasa Tegal.
Menurut Hadi, sastra tegalan itu meski usianya sudah cukup lama tapi masih butuh pengkuan eksternal.
“Masyarakat kita, pemerintah, dinas kebudayaan dan lain-lain. Mereka perlu terus memasyaratkatkan dan masyarakat perlu diberi informasi bahwa sastra tegalan itu ada dan sudah berkembang cukup pesat” katanya berapi-api ketika mengomentari lawatan budaya yang dilakukan oleh kelompok Sorlem.
Bagi Hadi Utomo, kegiatan peringatan dan lawatan tersebut menegaskan bahwa eksistensi para senimannya yang peduli dengan lokal jenius.
“Sastra tegalan ke depan harus mampu menjadi bagian dari sastra Indonesia seperti sastra daerah lain, Sunda-Bali-Jawa-Riau dan lain-lain. Seniman tidak bisa berjuang sendiri harus didukung penerbit, media, pemerintah, pers dan lain-lain” tambahnya.

Sementara itu Hartono Ch. Surya mengatakan, peringatan Hari Sastra Tegalan sangat penting karena sastra tegalan menjadi tonggak kebangkitan sastra lokal.

"Sastra tegalan membutuhkan eksistensi dan menjadi sebuah ikon yang perlu kita junjung tinggi," ujar Hartono.
Ikut dalam lawatan budaya memperingati Hari Sastra Tegalan di dua kota itu, Dwi Ery Santoso, Nurhidayat Poso, Nurngudiono, Slamet Ambari, Diah Setiyawati, Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya, HM. Iqbal, Ratna, Igho dan lain sebagainya (LS)

Foto : Hartono Ch Surya

Kamis, 20 November 2008

WASLAM Ngambah TRSS dan TBS


Dalam Rangka ‘Hari Sastra Tegalan’

Mamet Usung ‘Waslam’
ke TRSS dan TBS


“HAHAHAAAA…hèèèiii…kiyé aku sing arané Walam! Was-lam. Waslam bin almarhum Kasnan. Yah, bapané nyong pancèn arané Man Kasnan, sing wis mati lagi nyong umur 3 tahun. Adiné nyong wadon sing arané Tarini, waktu kuwé ésih bayi. Manèné aku arané Bi Niti, randa sepocong sing ana ning dèsa kidulé Margasari. Hèèè…hahahaha…kiyèh, aku sing sing arané Waslam. Kowen pada krungu belih?”

Suara Waslam menggelegar di puncak Tugu Monas. Menyebar ke seluruh penjuru. Lalu-lintas macet, orang-orang mendongak ke atas Tugu Monas, melihat Waslam bertelanjang dada berdiri di atasnya. Waslam ngomel-ngomel melihat kesemrawutan lalu-lintas di perempatan Bunderan HI. Ia kadang ketawa semaunya, kadang juga marah sejadi-jadinya ketika melihat Abang Becak yang menyerobot ugal-ugalan di tengah kesemrawutan Kota Metropolitan. Orang-orang dan para pemakai kendaraan yang menambah kemacetan, heran melihat Waslam di puncak Monas.
Lima belas tahun Waslam hidup di Jakarta, jadi gembel di daerah Senen. Berumah kardus dan plastik di pinggir rel kereta api, membuat lika-liku kesumpekan, kebengalan, dan kepongahan Jakarta dia kenali betu. Lima belas tahun, penghasilan Waslam tak menetap, ia menjadi kenet, tukang semis sepatu di terminal Pulo Gadung, bahkan jadi tukang todong di jembatan penyebarangan. Waslam ibarat ingus, nafas, dan bahkan tai dari Kota Jakarta.
Waslam jadi gila, tergencet karena kota semakin maju, dan ketimpangan sosial di mana-mana, mengepung Jakarta. Waslam terlunta-lunta, puncak kegilaan Waslam naik Tugu Monas, berteriak-teriak di atasnya pada orang-orang di bawahnya. Tindakan Waslam merepotkan, keadaan kisruh. Petugas Pemadam Kebakaran turun tangan. Seorang menaiki tangga. Sebuah Helikopter di atasnya berputar-putar, Waslam makin compong, melambai-lambaikan celana dalamnya. Waslam disaut Tim SAR Helikopter, lantas dibawa terbang menggunakan Helikopter. Demikian sepenggal monolog tegalan berjudul ‘Waslam’ karya Moch. Hadi Utomo yang bakal dibawakan Bramanthi S Riyadi dalam acara Perayaan Hari Sastra Tegalan di Taman Raden Saleh Semarang (TRSS) dan Taman Budaya Surakarta (TBS), Senin-Selasa (24-25/11) malam.
Menurut Mamet, sapaan Bramanthi S Riyadi, ia tertarik membawakan monolog ‘Waslam’ karena tema yang diusung Hadi Utomo sangat menarik. Waslam berbicara tentang kepincangan sosial yang justru terjadi di pusat Kota Jakarta yang menjadi kiblat semua orang. Jakarta ternyata bukan sebuah kota yang menjanjikan. Nilai-nilai inilah yang membuat Mamet memendam ‘birahi’ pada naskah ‘Waslam’ dan ingin segera ditumpahkan.
“Memainkan tokoh Waslam, bagi saya punya kebebasan berimprovisasi. Karena di sana ada keliaran, kesumat, dan suasana yang dibangun dalam monolog itu mencekam. Apalagi ditulis dalam bahasa tegalan, menarik untuk sebuah tantangan keaktoran saya!” ujar Mamet.
Pada perayaan Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada 26 Nopember, menurut Dwi Ery Santoso sangat perlu digeber dengan karya-karya tegalan. Baginya, lawatan budaya yang dilakukan para seniman Tegal dengan mengusung karyanya sendiri, dipandang amat penting karena geliat budaya yang mampu ‘dijual’ ke luar kota hanyalah lokal jenius. “Sastra Tegalan sudah membuktikan telah memiliki kekuatan dan menarik audiens di luar kota” tandas Ery.
Menurut Ery, pada lawatan budaya ke dua kota itu, selain ikuti Mamet, Diah Setyawati membawakan puisi tegalan, Dwi Ery Santoso membawakan dua puisi tegalan karya terbarunya, HM. Iqbal membawakan puisi tegalan karya Wakil Walikota Tegal Dr Maufur, juga Nurhidayat Poso, Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya, Slamet Ambari, Ratna, Nurngudiono, Igho, dan Aziz Ramdon. Lawatan budaya ini diprakasai oleh Komunitas Seniman Tegal ‘Sorlem’ (LS)


Foto : MAMET


Jumat, 14 November 2008

HARI SASTRA TEGALAN 26 NOPEMBER


Bontot Sukandar:

Sastra Tegalan
Ingin Menembus Batas

TANGGAL
26 November oleh kalangan seniman Kota Tegal telah ditasbihkan sebagai Hari Sastra Tegalan. Komunitas Ngingsor Pelem atau Sorlem dalam menyambut ‘Hari Sastra Tegalan’ berencana menggelar pementasan baca puisi dan monolog Sastra Tegalan di Semarang dan Surakarta. Apa impian dengan pementasan tersebut serta bagaimana perjalanan dan sejarah ditetapkannya Hari Sastra Tegalan? Wartawan NP, Ekadila Kurniawan wawancara dengan Ketua Komintas Sorlem, Bontot Sukandar, Jumat (14/11). Berikut petikannya:


Pada 25 November nanti Komunitas Sorlem akan memeringati Hari Sastra Tegalan di Semarang dan Solo. Apa yang akan ditampilkan?
Benar. Kita akan menggelar pementasan pembacaan puisi, monolog dan musik Tegalan di Gedung Kesenian Raden Saleh Semarang dan Taman Budaya Surakarta. Sejumlah seniman siap mengisi acara, seperti Hartono CH Surya, Nurhidayat Poso, Denok Harti, Dwi Ery Santoso, Bramanthi S Riyadi, Dyah Setyawati, saya sendiri, Dr Maufur dan Nurngudiono. Selain membaca puisi Tegalan, kami juga mengaransemen musik pengiring. Mereka selama ini cukup intens menulis puisi Tegalan.
Mengapa digelar di Semarang dan Solo?
Kita akan menindaklanjuti even yang pernah menggegerkan kesusastraaan Indonesia dengan membacakan puisi Tegalan ‘Tembangan Banyak’ terjemahan Lanang Setiawan dari puisi karya WS Rendra berjudul ‘Nyanyian Angsa’ di TBS tahun 1994, Indramayu tahun 1995 sampai ke komunitas ‘Wapres’ Bulungan, Jakarta pada tahun 2006. Ternyata responsnya luar biasa. Nah, sekarang kita ingin menampilkan puisi dan monolog Tegalan karya kita sendiri, bukan karya terjemahan. Kita akan buktikan, penyair lokal pun bisa menulis puisi Tegalan yang bagus.
Berarti pentas di Semarang dan Solo untuk memopulerkan sastra Tegalan?
Ya. Kita berusaha menembus batas wilayah, tidak hanya orang Tegal saja yang kenal, tetapi orang Jawa Tengah khususnya, Indonesia umumnya kalau ada sastra Tegalan. Karena sastra Tegalan yang kita tonjolkan bahwa bahasa Tegalan mempunyai etika dan estetika. Bukan sebagai bahasa lawakan saja. Sekali lagi kita ingin tegaskan, bahasa Tegalan pun bisa dipakai media ekspresi menulis puisi, novel dan genre sastra lainnya.
Sastra Tegalan bisa ‘dijual’ ke pasar?
Saya kira bisa. Nama Tegal sendiri sudah bukan nama kota yang asing lagi. Artis-artis yang mendompleng nama Tegal bisa tenar, seperti Cici Tegal yang bukan orang Tegal. Parto Tegal meski saat membintangi film menggunakan bahasa Indonesia, tapi karena asalnya dari Tegal, dia dikenal Parto Tegal. Kemudian selama ini, kita mengenal sastra daerah, tapi bahasanya wetanan. Saatnya yang dimaksud sastra daerah adalah Sastra Banyumas dan Sastra Sunda. Untuk Sastra Tegalan, kenapa tidak?
Sejarah ditetapkannya Hari Sastra Tegalan?
Ditetapkannya Hari Sastra Tegalan secara resminya 26 November 1994 mengacu atas terbitnya Tabloid Literasi yang berbahasa Tegalan pertama ada di Tegal. Jadi sekarang sudah 15 tahun berjalan, seniman yang peduli dengan sastra Tegalan selalu antusias memeringatinya, karena merasa memiliki bahasa Ibu yang patut dilestarikan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36 dan UU Otonomi Daerah Pasal 22 huruf m, jelas-jelas mengamanatkan kita untuk memelihara dan melestarikan warisan sosial budaya masyarakat. Bahasa Tegalan termasuk warisan budaya masyarakat yang perlu dilestarikan.
Apa impian setelah Hari Sastra Tegalan berjalan?
Impiannya, sastra Tegalan dapat dijadikan pelajaran muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah. Jika diterapkan, generasi mendatang tetap mengenal bahasa Ibu. Coba andaikata hanya Bahasa Inggris yang selalu ditekankan siswa, memanggil ibunya, ‘you’ tidak ada unggah ungguhnya.
Apakah berencana menerbitkan buku antologi puisi Tegalan?
Buku antologi puisi Tegalan sudah banyak yang diterbitkan, seperti Brug Abang dan Kota Reformasi. Kita selepas pentas di Semarang dan Solo, mungkin acara puncaknya digelar di Kota Tegal.
Sebenarnya apa sih Komunitas Sorlem?
Komunitas Sorlem ini wadah seniman untuk meluncurkan ide-ide kreatif teman-teman yang tidak bisa terakomodir lembaga kesenian yang mandul, agar kegiatan seni dan budaya di Tegal tetap hidup (*)


Kamis, 13 November 2008

ANTOLOGI PUISI PARA DEWA


Antologi Puisi ‘Para Dewa’
Menandai Sejarah Baru Kepenyairan Tegal


KOMUNITAS
seniman Sorlem tak lama lagi bakal meletupkan ‘badai kejutan’ berupa “Antologi Puisi Para Dewa” kesenian. Antologi tersebut akan memuat puluhan puisi terutama dari para ‘dewa’ seniman Tegal yang kiprahnya tak lagi diragukan dan sudah berdarah-darah dari berpuluh tahun di dunia kepenyairan. Mereka yang telah mengumpulkan puisinya, Nurhidayat Poso, Dwi Ery Santoso, Nurngudiono, Yono Daryono, M. Iqbal, Lutfi AN, Hartono Ch Surya, Bontot Sukandar, Diah Setyawati, Wakil Walikota Tegal Maufur dan lain sebagainya.
Menurut Nurngudiono, antologi tersebut sebagai bukti bahwa mereka masih kreatif dan berkaya. “Teman-teman membuktikan bahwa ternyata mereka masih kreatif dan berkarya. Banyak orang mengaku seniman, tapi banyak dari mereka yang sudah impotent, mandul, tak berkarya lagi,”
Bagi Nurngudio yang sudah malang-melintah berkiprah di dunia seni, momen tersebut menjadi sangat penting sebagai sebuah kebangkitan kebersamaan para ‘dewa’ seni yang ada di Tegal.
“Sekaligus ngumpulaken balung pecah, yang tadinya tercerai berai kembali bersatu lagi,” tandas Nurngudiono yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal.
Senada dengan Nurngudiono, penyair Dwi Ery Santoso yang sudah banyak membukukan antologi puisinya menyambut dengan gembira dengan niatan Komunitas Sorlem menerbitkan antologi tersebut. Bagi Ery, antologi tersebut menjadi sangat berarti karena merupakan sebuah tanda kebangkitan kebersamaan para ‘dewa’ seni sebagai pilar lahirnya kebudayaan baru.
“Momen ini sangat penting karena menandai lahirnya sejarah baru di dunia kepenyairan. Bukan sekadar reuni penyair para ‘dewa’ Kota Tegal, melainkan sebuah kebangkitan yang tak bisa ditunda lagi” papar Ery.
Lahirnya kebangkitan sejarah baru dunia kepenyairan di Kota Tegal dipandang cukup perlu. Bergulirnya antologi puisi ‘Negeri Poci’ beberapa tahun silam, dinilai mereka kurang mewadai ekspresi para penyair muda Tegal. Karena antologi tersebut hanya kumpulan klangenan para penyair di luar Kota Tegal yang merasa ingin mengenang kembali pada ‘negeri poci’ Tegal yang pernah mereka singgahi. Ruh klangenan itulah yang menyebabkan banyak para penyair muda Tegal terabaikan karena antologi ‘Negeri Poci’ sekadar kumpulan sajak-sajak dari orang-orang metropolis yang kurang memahami wilayah Tegal.
Karena itu, lahirnya “Antologi Puisi Para Dewa” menjadi sebuah media ekspresi para penyair Tegal yang amat penting, sekaligus sebagai pemicu untuk mereka lebih kreatif lagi dan tidak mandul dalam berkarya.
“Sekaligus menjadi pemicu penulis muda yang sekarang di Kota Tegal krisis penulis muda,” ujar Ketua Komunitas Seniman Sorlem, Bontot Sukandar.
Nurhidayat Poso selaku kurator puisi menandaskan, semua puisi yang diserahkan sudah terkumpul seluruhnya. Ada seratus lebih puisi yang dia terima, tinggal diseleksi dan dipilah-pilah. Seminggu kemudian dilempar ke percetakan dan rencananya dicetak dengan kertas yang bermutu dan luks.
“Menandai kebangkitan sejarah baru perpuisian di Tegal ini, kami ekstra kerja siang malam, kami tidak main-main” katanya di markas Sorlem, pinggir bendungan Kalimati Tegal (LS)


KETERANGAN FOTO: -Para seniman dari Komunitas Seniman Sorlem terlihat akrab diskusi dengan Walikota Tegal Terpilih H. Ikmal Jaya (Foto: Lanang Setiawan)





KOMUNITAS ANGSA BIRU


Bontot-Ida Bawakan 'Tembangan Banyak'


'SUNAN Kalimati' Bontot Sukandar bersama Komunitas ANGSA BIRU melakukan pembacaan puisi 'Nyanyian Angsa' karya WS. Rendra yang telah terjemahkan kedalam bahasa tegalan oleh Lanang Setiawan dengan mengubah judul menjadi 'Tembangan Banyak'. Bontot Sukandar yang juga Ketua Komunitas Sorlem membaca puisi 'Tembangan Banyak' itu berduet dengan penyair Ida Fitri di depan Gedung Dewan Kesenian Kota Tegal beberapa tahun lalu. Mereka membacakan puisi terjemahan tegalan itu mampu memberikan nuasa tegalan dan cukup sublim memasuki 'ruh' puisi yang mengisahkan pelacur tua Maria Zaitun.
Dengan menggunakan helaian selendang, Bontot dan Ida memberikan kesegaran saat melakukan eksen di atas panggung. Kadang Bontot menari mengitari Maria Zaitun yang diperankan oleh penyair Ida fitri. Harmonisasi antara dua 'angsa' itu, tercipta menggairahkan. Sungguh, penampilan malam itu mengantar kepedihan yang disandang Maria Zaitun mampu dihadirkan oleh Ida. Tak terkecuali peran sang 'Sunan Kalimati' Bontot Sukandar yang kadang berubah menjadi Malaikat, Dokter, sampai pada lelaki Yesus apik dan mengena saat dia melakonkannya.


KETERANGAN FOTO : - Bontot dan Ida Fitri saat membaca 'Tembangan Banyak' di depan Gedung Dewan Kesenian Tegal.

EMPAT PESOHOR TEGAL


Empat Pesohor Tegal

EMPAT cewek ini memiliki kedasyatan dibidangnya masing-masing. Ken Ratu Adni sukmawati adalah novelis muda yang menjadi satu-satunya novelis yang baru beranjak dewasa. Namun ketika masih duduk di bangku SMP, Ratu -demikian panggilan akrabnya, telah menerbitkan kumpulan Cerpen Teenlit berjudul 'Sori...Gue Ga Bisa Nolak Lo'. Pada masa itu, dia pun telah menulis novel yang kemudian menjadi Cerita Bersambung di Harian Suara Merdeka. Cerbung Ratu muncul di SM itu tiap hari Minggu dengan judul 'Pelangi Tiga Minggu'.
Ida Fitri adalah salah satu wanita muda yang banyak melakukan pembacaan puisi di Kota Tegal bersama kelompok 'Angsa Biru' pimpinan Bontot sukandar. Ida juga sudah banyak menulis puisi.
Sementara Verani, salah satu penyanyi yang sudah malang melintang di Batam, banyak menyabet penghargaan. Kini ia kembali ke Tegal dan masih mendapat job nyanyi dari satu kafe ke kafe yang lain.
Dewi, kakak Verani, adalah salah satu pelatih tari dan baca puisi meski untuk kalangan terbatas, namun Dewi ini pun suka juga pada dunia puisi.



KETERANGAN FOTO : dari kanan Ken Ratu, Verani, Dewi dan Ida Fitri dalam salah satu acara yang berlangsung di sebuah mall di Kota Tegal (Foto : Lanang Setiawan)

Rabu, 12 November 2008

SAJAK-SAJAK IDA FITRI



Demi Sebuah Nama
(bagi bocah Gelagat)

Demi kebesaran sebuah nama (Gelagat)
Kita tinggalkan segala kemegahan
Menapaki setiap jalan di sudut kota
Bermodal nyali
Dengan nyawa puisi

Melangkah bersama
Demi mendapat sekeping receh
Kita menggedor-gedor pintu besi
Dengan puisi mati
Tak berarti

100 pujian. 1000 makian
Senantiasa mengiringi perjuangan kami
Menjalani proses kreatifitas
Demi satu cita-cita
Membesarkan sebuah nama (GELAGAT)


Nikmat Sujud


Aku bersimpuh dihadapan-Mu
Memohon ampun
Atas segala kesalahan
Memohon petunjuk
Atas segala kekhilafan

Sebentang sajadah panjang
Tempat aku bersujud
Ku temukan ketenangan batin
Yang luar biasa nikmatnya

Air mataku mengalir
Bukan sebagai mutiara
Yang keluar dari kerang
Bukan pula sebagai hujan
Yang turun dari langit
Namun itulah jeritan hatiku

Tafakurku pada-Mu ya Allah
Seribu do'a kupanjatkan
Memohon kebesaran-MU

"Allah. . .
Sucikanlah hati ini
Agar dalam setiap langkah
Hanya nama-Mu yang mengiringi
Lindungilah telinga ini
Agar setiap waktu
Hanya senandung pujian terhadap_Mu
Yang kudengar
Jagalah mulut ini
Agar setiap saat
Nama-Mu lah yang senantiasa
Kusebut dalam dzikirku


Sajak Sayang untuk Abah
Abah . . .
Di balik lengkung kantung matamu
Kulihat jelas lelah yang kau rasa
Pada matamu yang memerah
Ada duka terselinap
Yang senantiasa kau sembunyikan

Abah . . .
Kuharapkan sebuah kesuksesan
Di balik perutmu yang membuncit
Ku berdo'a tuk kebahagiaanmu
Agar kau mendapat balasan
Dari segala yang kau beri pada kami,
Anak-anakmu

Abah . . .
Berhentilah sejenak dari kerjamu
Duduklah bersama kami !
Kami rindu akan candamu
Juga nasihatmu, tuk masa depan kami

Abah . . .
Jangan biarkan engkau lelah
Tuk mencari sesuap nasi demi kami
Bahagiaku berada di sampingmu
Bersama Ibu yang melahirkanku

Abah . . .,
Tak ada yang dapat ku beri
Tuk mengganti kebahagiaan
Yang telah kau beri pada kami
Bukanlah sebuah rumah besar
Atau mobil mewah
Namun hanya sebuah sajak
Dari anakmu
Yang hanyalah seorang penyair jalanan


Sajak Kematian


Terpisahnya jasad dan ruh
Membuat diri
Menjadi gagap
Tanpa gelagat

Gelap alam kubur
Mengingatkan segala takabur
Semasa hidup
Dapatkah semuanya lebur ?

Sendiri dalam gelap
Buatku merasa takut
Akan panas neraka
Buatku menangis
Akan rindu
Wangi surgawi



Hitam Putih Aku Benci

Aku membenci bayangan gelap
Yang tak lain adalah hitam

Gelap gulita
Sesekali diselingi
Tangis menyayat hati
"aku benci hitam"
Itu tanda satu duka besar

Putih
Bukan lagi lambang kesucian
Namun,
Putih dijadikan selimut
Untuk menutupi
Segala kebusukan
Dan kedhaliman

Putih dijadikan kedok
Membuat kemunafikan
Sebagai sumber kepercayaan
Menjadikan kejujuran
Terjebak menjadi tumbal

Hitam . . .
Aku benci duka yang mendalam!
Putih . . .aku benci kemunafikan !

Hitam. Putih. Hitam. Putih.
Hitam. Putih. Hitam. Putih.
Aku benci
Hitam putih


Bius Asmara


Siklus waktu berputar
Kekuatannya mampu merubah
Pribadi lugu

Kerinduan . . .
Sering kali
Membuat dada
Bernafas sesak
Membuat otak
berfikir sempit
Asmara telah membius seseorang
Menjadi pribadi asing bagi dirinya


Sajak Mampat


Ku terdesak
Penuh sesak
Dalam penat

Tubuhku sekarat
Pikiranku mampat
Hadapi aral

Metamorfosa


Ku tepis tangis
Demi tawa
Aku tertawa
Menutupi luka


Sandiwara Kehidupan


Bila hidup adalah sandiwara
Maka,
Bumi tempat kami berpijak
Adalah panggung yang nyata
Dan kami manusia penghuni bumi
Adalah lakon-lakon
Yang memerankan karakter masing-masing
Dan nasib kami
Adalah alur yang Kau cipta
Dan Kau Tuhanku . . .
Adalah sutradara alam
Sutradara tak terbatas kuasa
Sutradara abadi

Bila hidup memang sebuah peranan semata
Lewat alam,
Kau merenda kalimat-Mu
Mengejakan apa-apa yang tak terbaca
Mendiktekan segala yang belum kami ketahui
Dan mengajarkan kita
Tentang hakekat kehidupan
Adalah proses menuju kematian

Kau senantiasa memperlihatkan
Dan memberikan kepada kami
Kegaiban alam malakut-Mu
Tapi Kau juga mengalingi kami
Dari rahasia-Mu

Tuhan . . .
Kau benar-benar mengajari kami
Untuk mandiri dalam bersikap
Dan mengolah pikiran kami
Yang tidak tahu kemana ujungnya

Kau menciptakan seribu wajah
Menjadikannya sejuta karakter
Dan mempertemukannya dalam adegan yang berbeda

Oh . . . betapa besar kuasa-MU
Menciptakan segala yang Kau mau
Menjadikannya segala yang Kau kehendaki

Tapi bila memang demikian
Kapan Kau akan mengakhiri sandiwara ini ?
Mematikan semua tokoh dan peranannya ?
Menjadikannya dalam hidup yang sesungguhnya
Yang abadi . . .


Batu Risau


Apa yang kau cari ketika sunyi?,
Sedang ramai yang kau butuh
Apa yang kau ingin diantara banyak orang?,
Sedang kau muak diantara riuh
Kemudian kau marah karena sepi
Kau menangis karena ricuh
Kau berontak karena sakit
Dan kau tertawa karena resah

Apa yang kau maui dengan harimu?

Sementara yang kau cari tak pernah memuaskan hasratmu
Bagaimana kau puaskan nafsumu?
Sementara serakah senantiasa menyelimuti

Khilaf kau kata kau menyesal
Ketika segala macam duniawi
Tak lagi mampu memuaskan ragamu
Sementara jiwamu terus kehausan
Mencari mata air yang mampu menemukan dimana hatimu
Yang selama ini berlari
Bukan bersembunyi

Lakumu adalah memanjakan ketamakan
Sementara ucapmu congkak penuh angkuh
Tatapmu bengis penuh sinis
Tapi hatimu, menangis karena risau
Pikirmu tak tenang karena gelisah
Dan jiwamu berontak atas penyesalan

Lekaslah berlalu
Bagimu bayang masa lalu
Cukuplah kau menjadi seonggok batu



Untukmu Ma . . .


Ma,
Mencinta dan menyayangmu
Tak kan ada batas waktunya
Tak kan ada batas kasihnya

Adalah engkau Ma,
Wanita hebat
Sumber inspirasiku


Sssstt . . . .!!!


Isyarat mata
Mata meraba
Meraba jiwa
Jiwa berbisik
Berbisik hati
Hati berkata
"cinta"


OA . . .OA . . .(Rindu dan Harap)


Suara itu,
Adalah kebanggan dari seorang ayah
Dan kesempurnaan bagi wanita
Yang melahirkan Nanda dari rahimnya
Suara itu,
Lebih bernyawa ketimbang
Perjuangan nafas Bunda yang terengah-engah
Antara hidup dan mati
Suara itu,
Jadi air mata bahagia bagi Bapak.
Kelak gadis kecil ini
Akan jadi wanita hebat
Kebanggaan dan harapan dari keduanya

KETERANGAN FOTO: - Para anggota Komunitas Sorlem foto bersama saat menghadiri pernikahan Penyair Endhi Kepanjen -Badriyah, Senin (10/11). Penyair Perempuan Ida fitri salah satu anggota yang aktif juga di kelompok tersebut.






Ketua Komunitas Sorlem


Mengenal Bontot Sukandar Ketua Sorlem

MENGENAl Bontot Sukandar, sama artinya mengenal gelombang lautan yang tak pernah berhenti membuncah-buncah dengan riak yang ada. Bontot, demikian sapaan akrabnya itu, barangkali selama hidupnya dia abdikan untuk dunia kesenia. Ia terlibat dalam urusan kesenian sejak masih sekolah di SMEA Pius Kota Tegal di Teater Puber pimpinan Nurhidayat Poso. Menulis dan berteater adalah 'nafas hidup berkeseniannya' yang tak pernah pupus dalam situasi kere maupun berke
cukupan. Ia memandang hidup dengan penuh estetika yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi siapapun yang ingin menerjuni dunia ke senian. Bontot menulis puisi, bukan untuk menjadi penyair tapi hidup dengan berpuisi akan memberikan nilai positif karena di dalam nafas puisi dia menemukan pergulatan kehidupannya yang sesungguhnya.
"Puisi bukan apa-apa tapi puisi membuat hidupku serasa mengenal dunia di luar batas diriku sendiri," ujar Bontot yang kini mendapat gelar dari kawan-kawan seniman di Kota Tegal sebagai 'Sunan Kalimati' karena saben hari dia menjadi penunggu di lokasi warung pinggir Sorlem (Ngingsor Pelem) di dekat bendungan sungai Kalimati, Kota Tegal.
Dari seringnya dia memanfaatkan tempat pinggir sungai itu, ia bersama kawan-kawan seniman Tegal membentuk Komunita Seniman Sorlem. Oleh kawan-kawannya Bontot ditunjuk sebagai ketua. Beberapa even yang pernah dia kemas adalah melukis di atas bendungan Kalimati. Menggelar berbagai diskusi sastra dan pementasan. Bontot pun mendirikan juga komunitas ANGSA BIRU bersama penyair wanita Ida Fitri. Komunitas yang bergerak dalam agenda pembacaan puisi itu, juga banyak melakukan even pembacaan puisi Tegalan di berbagai tempat dan kampung demi kampung di wilayah Tegal.
'Sunan Kalimati' yang pernah menjadi wartawan POS FILM dan Tabloid TEGAL TEGAL itu, merasa perlu hari-harinya diisi dengan berkesenian karena di dalam kesenian itu, dia menemukan dirinya dan mengenal dunia lain (LS)

KEPEDULIAN WALIKOTA TERPILIH PADA SENIMAN





Ikmal Jaya Kunjungi Komunitas Sorlem

WALIKOTA Tegal Terpilih, H. Ikmal Jaya, SE.AK, nampak asyik berbaur dengan para seniman. Selasa siang (11/11) pukul 13.00 WIB, Ikmal Jaya tak canggung makan siang dengan sayur asam di warung Sorlem, tempat berkumpulnya para seniman Tegal yang tergabung dalam Komunitas Sorlem. Ikmal sengaja berkunjung ke sana karena ingin mendapatkan masukan dan mengakomodir kepentingan mereka, sehingga kemajuan seni kebudayaan di Kota Tegal bisa maju secara bersama. “Karena itu, seniman Tegal jangan sampai pecah,” tandas Ikmal.
Menurut Ikmal, dalam setiap organisasi apapun, perbedaan itu tetap ada, tetapi dari perbedaan itu janganlah menjadikan perpecahan. Diharapkan perlu adanya islah diantara para seniman.
“Pengurus Dewan Kesenian Kota Tegal harus islah. Sebab jika kepengurusan sekarang terpecah menjadi dua kubu, karya mereka tidak maksimal. Saya akan mengislahkan agar semua kepentingan para seniman dapat terakomodir dengan baik” katanya.
Titik berat pemerintahan Ikmal
Dalam pertemuan itu, Ikmal pun menandaskan, titik berat pemerintahannya nanti bagaimana memajukan dunia pariwisata. Karena pariwisata itu salah satu aset Kota Tegal yang perlu dikembangkan.
“Secara otomatis, jika dunia wisata berkembang, dunia kesenian pun turut maju pula,” katanya.
Gagasan Ikmal mengembangkan dunia pariwisata, sangat didukung. Nurhidayat Poso, salah satu seniman yang hadir dalam pertemuan itu menyambut baik gagasan itu tetapi dengan catatan bahwa pariwisata tidak hanya dilandasi mental ekonomik yang mengekplitasi apa saja, termasuk kesenian, tetapi hanya dengan semangat dagang. “Pariwisata dan seni harus tumbuh secara sehat dan proposional,” katanya.
Adanya rencana pembangunan Taman Budaya Tegal (TBT) pada anggaran tahun 2009 mendatang, Dwi Ery Santoso mengharapkan seyogyanya pengelolaan TBT nanti ditangani oleh Pemkot melalui SKPD atau semacam UPTD. Tetapi untuk urusan estetika dan artistik tetap diserahkan kepada seniman. Bahkan, kelak TBT itu tak alergi dipakai untuk kegiatan umum bahkan kegiatan pelatihan kader partai manapun yang ada kontribusinya. “Ini bisa meringankan perawatan TBT,” tandasnya.
Yang perlu menjadi perhatian pada pemerintahan Ikmal Jaya nanti, adalah soal pentas bulanan yang selama ini ditangani oleh salah satu instansi kebudayaan di Pemkot Tegal yang dinilai kurang melibatkan institusi seni. Sehingga even yang diselenggarakan kurang bariatif. “Seni-seni serius dan alternatif selama ini tidak tersentuh. Misalnya pementasan teater, baca puisi dan kesenian moderen lainnya,” tandas Nurngudiono yang di-ia-kan para seniman yang hadir.
Menangapi kegelisahan para seniman itu, dalam pemerintahan Ikmal Jaya nanti, hal itu tidak akan terjadi. Ikmal akan memberikan tempat terhormat terhadap mereka agar semua elemen masyarakat Kota Tegal berkembang dan maju.
“Insya Allah, saya ini ingin membangun Kota Tegal lebih maju” tandas Ikmal.
Hadir dalam pertemuan itu, Ketua Komunitas Sorlem, Bonto Sukandar, Hartono Ch Surya, Bramanthi S Riyadi, Agus Nurwanda, Widodo, Nurhidayat Poso, Lukman Jiwa, Dwi Ery Santoso, Nurngudiono dan lain sebagainya. “Kedatangan Walikota Tegal Terpilih Ikmal Jaya mengunjungi Komunitas Sorlem, merupakan langkakh lanjutan Ikmal untuk membuktikan bahwa dia komit dengan kesenian. Diharapkan hal semacam ini terus berlanjut, agar kesenian terus beriring dengan perkembangan perekonomian Kota Tegal” pungkas Bontot Sukandar
(LS)

KETERANGAN FOTO : -Para seniman Komunitas Sorlem foto bersama dengan Walikota Tegal Terpilih H. Ikmal Jaya SE. AK (berdiri nomor tiga dari kanan), Selasa (11/11) di Sorlem, seusai membahas perkembangan seni dan budayaan di Tegal (Foto: Lanang Setiawan) http://www.begawantegal.blogspot.com



HARI SASTRA TEGALAN 26 NOPEMBER


Hari Sastra Tegalan 26 Nopember
Seniman Tegal Kampanyekan
Estetika Sastra Tegalan

PARA seniman Tegal yang tergabung dalam Komunitas Sorlem akan mengadakan pentas keliling baca puisi, cerpen dan monolog bahasa tegalan ke Solo dan Semarang pada Selasa (25/11) mendatang. Menurut salah seorang seniman Nurngudiono, kegiatan ini digelar bertepatan dengan peringatan ‘Hari Sastra Tegalan’ yang jatuh pada tanggal 26 Nopember, sekaligus sebagai wujud kepedulian seniman Tegal terhadap eksistensi sastra tegalan untuk mengangkat citra bahasa Tegal.
"Selama ini bahasa Tegal dianggap sebagai bahasa yang tidak etis untuk digunakan sebagai alat komunikasi antar lintas kalangan. Bahasa Tegal hanya digunakan sebagai bahasa lawakan yang konotasinya menjurus pada pelecahan dialek," kata Nurngudiono.
Padahal, kata Dwi Ery menambahkan, bahasa tegalan mempunyai etika dan estetika yang tinggi. "Bahasa Tegal mempunyai estetika yang tinggi sehingga dapat dijadikan karya sastra yang sepadan dengan karya sastra dunia lainnya,"
Direncanakan, pentas baca puisi, cerpen dan monolog tegalan ini akan digelar di TVRI Jawa Tengah atau Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) dan Taman Budaya Surakarta (TBS). Agenda para seniman Tegal ini siap disambut oleh dalang Wayang Suket Slamet Gundono dan Ketua Dewan Kesenian Semarang, Marco Manardi.
Menurut Ketua Komunitas Sorlem, Bontot Sukandar, para seniman yang akan menjadi wali penyampai nilai-nilai estetika bahasa tegalan baik melalui puisi, cerpen maupun monolog yaitu Nurngudiono, Dwi Ery Santoso, Nurhidayat Poso, Dyah Setiyawati, Lanang Setiawan dan Dr Maufur dengan membacakan puisi tegalan. Sedangkan Bramanthi S Riyadi membawakan monolog tegalan ‘Waslam’ karya Moch. Hadi Utomo, dan Hartono Ch Surya siap membacakan cerpen tegalan.
Diharapkan, lanjut Bontot, Pemerintah Kota Tegal bersedia memberikan dukungan sepenuhnya terhadap kegiatan ini.
"Tak hanya itu, nantinya bahasa tegalan dapat dijadikan mata pelajaran muatan lokal bahasa daerah yang setara dengan bahasa daerah lainnya seperti cirebonan dan banyumas," kata Bontot.
Dijelaskan, acara serupa pernah digelar di berbagai kota besar seperti di Wapress, TMII, Pasar Seni Ancol Jakarta, Indramayu, Solo sebanyak tiga kali serta Yogyakarta sebanyak dua kali (Hamidin Krazan)

KETERANGAN FOTO:
Para seniman Tegal yang tergabung dalam Komunitas Sorlem tengah membahas Kampanyekan Estetika Sastra Tegalan ke TBS dan Semarang dalam rangka menyambut ‘Hari Sastra Tegalan’ yang jatuh pada tanggal 26 Nopember, Senin (10/11) (Foto Lanang Setiawan)

Senin, 10 November 2008

AKU

aku
Oleh Hamidin Krazan

tulis saja
huruf a
huruf k
huruf u
dengan a kecil
dengan k kecil
dengan u kecil
tulis saja aku
di setiap kening
orang-orang
yang lalu lalang
di setiap hari tanpa pening

tulis saja aku
di setiap senyum
meski di bibir madraup
bersama kucur keringatnya
tercecer tak terbatas
hari kerja

tulis saja aku
di setiap alir sungai
di pintu laut
kadang mengalir
kadang muntahkan rob
namun ikan-ikan
tetap beranak pinak
mijah harapan
bagi para pemancing
tulis saja aku
dengan huruf kecil
dengan tinta embun
Slawi, 14/11/2008


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Free PDF Files